Lipsus Pelabuhan Tanjung Adikarto

Tanjung Adikarto, Proyek Pelabuhan Rp 400 M Masih Terbengkalai

Agar fasilitas yang ada bisa termanfaatkan dan tidak terbengkalai maka masyarakat bisa memanfaatkan.

Penulis: dnh | Editor: Ikrob Didik Irawan
Tribun Jogja/ Hendra Krisdianto
Foto udara pelabuhan perikanan Tanjung Adikarto, Karangwuni, Wates, Kulonprogo. Pelabuhan yang mulai dibangun 2004 ini belum bisa difungsikan sesuai tujuan pembangunan karena gelombang besar dan sedimentasi. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Dwi Nourma Handito

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Dalam sejumlah kesempatan, termasuk saat menghadiri syawalan di Kulonprogo pada akhir Juli 2015, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan HB X mengatakan, pelabuhan Tanjung Adikarto dapat dioperasikan pada awal 2016.

Saat itu Sultan mengatakan bahwa kapal besar berbobot 30 gross ton dapat masuk ke pelabuhan.

Namun harapan orang nomor satu di DIY itu tidak belum terwujud hingga saat ini.

Dua kendala utama yaitu sedimentasi di muara sungai yang menjadi pintu masuk pelabuhan sulit diatasi.

Masalah sedimentasi ini bisa membuat kapal berukuran besar kandas hingga tidak bisa masuk ke pelabuhan.

Upaya pengerukan muara sungai Serang yang menjadi pintu masuk ke pelabuhan tidak bisa optimal.

Masalah kedua yang masih menjadi kendala di pelabuhan yang terletak di Karangwuni, Wates, Kulonprogo ini adalah gelombang yang cukup besar.

Alhasil, meski sarana prasarana di darat sudah selesai dibangun, namun pelabuhan tersebut belum juga bisa beroperasi.

Saat Tribun Jogja datang, pelabuhan dengan luas 16,539 hektar ini terdapat tempat pelelangan ikan namun tampak di sana kosong.

Hanya ada lima kapal kecil yang bersandar di sisi selatan sebelah barat kolam pelabuhan.

Sementara itu gedung-gedung di sekitar kolam pelabuhan juga banyak yang kosong belum termanfaatkan.

Hanya ada satu dua gedung yang termanfaatkan, yakni pos keamanan dan gedung syahbandar yang digunakan oleh Dinas Kelautan Perikanan sebagai kantor pengelola.

Tribun Jogja lantas menemui pengelola Tanjung Adikarto.

Saat itu, Tribun Bertemu dengan Dwiyanto dari Dinas Kelautan dan Perikanan DIY yang mendapat tugas untuk mengurusi pelabuhan.

Dwiyanto mengatakan bahwa agar fasilitas yang ada bisa termanfaatkan dan tidak terbengkalai maka masyarakat bisa memanfaatkan.

Seperti gedung serba guna yang bisa digunakan untuk acara, termasuk acara pernikahan.

Ditemui dikantornya selang beberapa hari, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, Sigit Sapto Raharjo membenarkan bahwa masyarakat bisa memanfaatkan fasilitas yang ada.

Termasuk menggelar acara pernikahan di pelabuhan yang menelan biaya pembangunan total sekitar Rp 400 miliar ini.

“Anda juga bisa menggelar acara nikah di sana. Di sana ada gedung serba guna yang kapasitasnya cukup besar,” ujar Sigit dalam perbincangan dengan Tribun Jogja di kantornya di daerah Sagan, Kota Yogyakarta, Selasa (20/9/2016) kemarin.

Pemanfaatan lain adalah sebagai tempat wisata dan menggandeng peran warga sekitar.

Saat mengunjungi Tanjung Adikarto pada akhir pekan kemarin, beberapa orang nampak beraktivitas di sana.

Bahkan ada satu gedung yang dimanfaatkan sebagai warung. Terlihat juga beberapa pengunjung tengah jajan di sana.

Pelabuhan yang dibangun sejak tahun 2004 ini hingga kini belum bisa dioperasikan sesuai dengan tujuan pembangunan. Kapal ikan dengan bobot besar belum bisa merapat ke sana.

Padahal dari segi pembangunan fisik, hampir semua sudah siap.

Puluhan bangunan sudah berdiri kokoh di kawasan pelabuhan yang memiliki luas 16, 5319 hektar. Ombak dan gelombang besar dan sedimentasi yang tinggi menjadi kendala.

Penelusuran Tribun Jogja akhir pekan kemarin, kondisi gelombang di pintu masuk ke pelabuhan memang tinggi.

Saat itu langit mendung, gelombang cukup besar dan pecah di break water atau pemecah ombak yang melindungi perairan pintu masuk pelabuhan.

Pintu masuk ke Tanjung Adikarto sebenarnya adalah muara dari aliran sungai Serang, di muara tersebut sedimentasinya cukup tinggi.

Sedimentasi berupa pasir yang terdorong oleh gelombang laut. Saat air surut, hamparan pasir akan terlihat.

“Saat pasang, gelombang pasti akan membawa pasir. (Sedimentasi) Jadi sulit untuk keluar masuk (kapal). Kalau pas surut (bagian yang tersedimentasi) kayak lapangan bola,” ujar Betung, seorang nelayan setempat yang ditemui Tribun Jogja.

Saat ditemui, anggota kelompok nelayan Ngudi Rejeki itu tengah menjala ikan di kolam pelabuhan.

Sementara itu, kapal tradisional miliknya ditambatkan di sisi selatan kolam, bersama beberapa kapal lain.

Menurutnya perlu nyali besar saat akan “menerobos” pintu masuk karena gelombang besar dan sedimentasi, ia tidak yakin perahu besar bisa melakukan.

Pemerintah masih mengusahakan agar masalah utama yang saat ini yakni gelombang besar dan sedimentasi bisa teratasi. Untuk diketahui pembanguan Tanjung Adikarto adalah pembangunan yang melibatkan beberapa pihak, Pemkab, Pemda dan Kementerian.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, Sigit Sapto Raharjo mengatakan ada kajian studi sekaligus redesign dari pelabuhan Tanjung Adikarto, agar pembangunan yang sudah menelan dana sekitar Rp 400 miliar itu bisa termanfaatkan sesuai dengan tujuan awal.

Sigit mengatakan saat ini studi itu tengah berjalan dan ditangai oleh rekanan yang ada di Yogyakarta. Biaya untuk itu sebut Sigit senilai Rp 1,8 miliar.

Salah satu yang akan ditunggu hasilnya adalah cara mengatasi sedimentasi yang ada, atau yang disebut Sigit sebagai manajemen sedimentasi. (tribunjogja.com)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved