Tribun Corner

Apa dan Untuk Siapa Keistimewaan DIY

Perjuangan untuk memperoleh status keistimewan ini bisa dikatakan berdarah-darah.

Penulis: ufi | Editor: Muhammad Fatoni
Tribun Jogja/Hamim Thohari
Suasana perempatan Tugu Pal P­utih Yogyakarta yang ramai oleh wisatawan dan masyarakat 

GENAP empat tahun keistimewaan DIY diakui secara legal formal dengan diundangkannya UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Undang-undang tersebut menjadi jawaban panjang dari perjuangan panjang rakyat Yogyakarta untuk menuntut status keistimewaan dari pemerintah pusat.

Merunut dari sejarahnya, perjuangan untuk memperoleh status keistimewan ini bisa dikatakan berdarah-darah. Bahkan jika tidak dipungkiri, isu untuk lepas dari NKRI juga sempat mewarnai perjuangan panjang pengakuan keistimewaan tersebut.

Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X juga tercatat dua kali menolak untuk dikukuhkan kembali menjadi gubernur saat keistimewaan DIY belum juga dilegalformalkan melalui Undang-undang yang tentu memang memiliki kepastian hukum.

Publik juga masih ingat, pegiat dan pejuang keistimewaan juga memiliki jingle andalan saat keistimewaan ini diperjuangkan. Jingle tersebut adalah "PENETAPAN" untuk melawan wacana yang sempat bergulir di DPRD terkait posisi gubernur DIY.

Sedemikian heroiknya perjuangan tersebut sehingga terkesan dari luar Yogya, bahwa aspirasi yang disampaikan pegiat keistimewaan ini adalah suara mayoritas warga Yogya yang menginginkan Yogya istimewa yang identik dengan penetapan raja yang bertahta menjadi gubernur.

Saat sebelum UU No 13 tahun 2012 ini ditetapkan bahkan yang lebih mengemuka di publik tentang keistimewaan itu adalah antara penetapan dan pemilihan. Pro keistimewan, demikian pegiat keistimewaan ini ingin disebut selalu mengedepankan istilah Penetapan segai maskot perjuangan mereka.

Rupanya, jingle bahwa keistimewaan ini identik dengan Penetapan raja yang bertahta sebagai gubernur ini juga masih tertanam hingga UU Keistimewaan DIY sudah berusia 4 tahun. Jarang publik memahami bahwa UU Keistimewaan ini mengatur banyak hal, selain soal posisi gubernur dan wakil gubernur.

Belum lagi terkait dengan Dana Keistimewaan yang juga mengiringi UU Keistimewaan yang mulai mengucur ke DIY dengan jumlah yang bisa dibilang tidak sedikit, di atas Rp 500 miliar per tahun dan terus bertambah dari tahun ke tahun.

Sebagaimana produk undang-undang dan kebijakan pemerintah yang lain yang selalu mengamanatkan untuk penambahan kesejahteraan bagi rakyat, UU Keistimewaan juga diundangkan dengan maksud utama untuk meningkatkan kesejahteraan warga DIY. Namun hingga saat ini, implementasi UU Keistimewaan DIY ini belum terasa di masyarakat.

Yang diketahui publik, Dana Keistimewaan ini juga masih hanya dinikmati oleh abdi dalem dan juga kerabat keraton yang akhirnya berhak memperoleh cipratan dana keistimewaan lantaran statusnya sebagai pangeran di keraton.

Sementara akses untuk pengajuan dana kesitimewaan yang dirasakan sulit juga tak serta merta mampu menjadi akselerator pembangunan karakter budaya di Yogya. Di sektor budaya ini yang tampak dengan adanya dana keistimewaan adalah banyaknya kirab-kirab kebudayaan di perkampungan yang jauh dari substansi pembangunan karakter budaya.

Banyak hal yang hingga saat ini publik tidak paham dengan keistimewaan yang disandang daerahnya. Lalu, istimewanya DIY di refleksi 4 tahun keistimewaan DIY itu sebenarnya apa dan untuk siapa sebenarnya?

Pemda DIY, Keraton dan juga Pakualaman perlu untuk segera berbenah menentukan arah yang jelas terkait status keistimewaan yang disandang. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved