Tribun Corner
Lingkaran Kekerasan Suporter Sepak Bola, Mau Sampai Kapankah Terus Berulang?
Seorang bocah berusia 16 tahun, Stanislaus Gandhang Deswara, meninggal dunia di tangan massa suporter klub sepak bola
TRIBUNJOGJA.COM - Tragedi dunia suporter sepak bola kembali terjadi di Morangan, Sleman, Minggu (22/5/2016) dini hari.
Seorang bocah berusia 16 tahun, Stanislaus Gandhang Deswara, meninggal dunia di tangan massa suporter klub sepak bola yang mengamuk.
Amuk massa kelompok suporter itu bukan tanpa sebab. Sebelumnya mereka dicegat massa lain di Jalan Magelang Km 14, dan sempat terjadi bentrok. Setelah bisa melanjutkan perjalanan, bentrok kedua terjadi di sekitar Morangan.
Nasib mengenaskan dialami korban yang terluka bacokan dan tusukan di tubuhnya. Nyawanya tak terselamatkan sekitar pukul 05.00 di RSUD Sleman. Jenazah remaja itu dipulangkan dan dimakamkan di Wonogiri, Jateng.
Peristiwa di Sleman ini sangat disesalkan, dan menimbulkan keprihatinan mendalam. Semestinya kejadian seperti ini tak terulang karena sudah ada berderet-deret kasus yang sama yang merenggut nyawa pencinta sepak bola dan klubnya.
Belum lama ini belasan suporter klub sepak bola asal Surabaya diadili dan dijatuhi hukuman penjara di PN Sragen. Tahun lalu mereka mencegat dan mengeroyok warga asal Malang hingga tewas mengenaskan.
Di tahun yang sama, sekelompok pemuda bersenjata, yang kemudian terungkap anggota kelompok suporter di Sleman mencegat bus di dekat Bandara Internasional Adisucipto. Mereka menyeret seseorang diduga suporter klub sepak bola Cilacap dan menggebukinya hingga tewas.
Di Kota Yogya, seorang pemuda anggota kelompok suporter klub sepak bola diserang kelompok pemuda lain di kawasan Wirobrajan. Pemuda itu tewas mengenaskan, dan kasusnya hingga sekarang tak terungkap siapa pelakunya.
Berjatuhannya korban jiwa, dan tak terhitung lagi korban luka serta kerusakan fisik terkait bentrok kelompok suporter sungguh ironis dengan spirit olah raga dan sepak bola. Aneka kekerasan itu sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan olah raga.
Apalagi jika dikaitkan dengan capaian prestasinya. Lebih banyak hal ini mencerminkan potret sosial masyarakat kita. Lingkaran kekerasan tercipta dan tak ada putus-putusnya.
Fanatisme buta dan kebencian yang dipelihara menyebabkan sulit memotong lingkaran kekerasan ini.
Upaya represif dan sanksi sangat keras sudah seharusnya mulai diterapkan. Misalnya menjatuhkan larangan ke kelompok suporter, atau setidaknya ke komunitas para pelakunya untuk tidak boleh menonton sepak bola di manapun selama periode tertentu.
Klub pun juga mesti diberi tanggungjawab atas terjadinya kekerasan di lapangan ini. Sanksi harus dijatuhkan sebagai wujud pembelajaran.
Selain itu aparat keamanan juga harus jeli dan betul-betul siap menghadapi situasi-situasi rawan yang harusnya bisa dideteksi dini.
Pemerintah membuka keran bergulirnya kompetisi sepak bola, supaya selain meningkatkan prestasi klub dan persepakbolaan nasional, juga memuaskan dahaga warga. Tapi jika diiringi kekerasan merenggut korban jiwa terus, untuk apa kompetisi digelar. (tribunjogja.com)
