Masjid Agung Djenne, Masjid Terbesar yang Terbuat dari Lumpur

UNESCO menetapkan Masjid Djenne sebagai salah satu warisan budaya dunia

Penulis: Mona Kriesdinar | Editor: Mona Kriesdinar
wikipedia
Masjid Agung Djenne, Mali 

TRIBUNJOGJA.COM, MALI - Jika sebagian besar bangunan masjid dibangun dari batu bata dan lapisan semen bahkan beton, lain halnya dengan Masjid Agung Djenne yang berada di kota Djenne, Mali ini.

Masjid yang memiliki tiga menara setinggi 11 meter ini, ternyata terbuat dari lumpur. Meski demikian, konstruksi bangunan masjid nan megah tersebut, sudah bertahan sejak terakhir direnovasi total pada tahun 1906 silam.

Dikutip dari website Masjid Agung Djenne, masjid ini pernah dihancurkan pada tahun 1818 oleh Suku Fulani yang menilai bahwa bangunan masjid ini terlalu megah. Nyaris setengah konstruksi masjid hancur. Sementara separuhnya masih bertahan hingga sekarang.

Kemudian, masjid yang berciri khas arsitektur Sudah Sahelian ini direnovasi total pada tahun 1906.

Renovasi tersebut membutuhkan waktu hingga tiga tahun. Namun hasilnya sangat memuaskan. Masjid berdiri kokoh nan megah dengan ciri khas arsitektur yang masih dipertahankan.

Maka wajar saja jika kemudian UNESCO memasukan masjid yang berdiri diatas lahan seluas 75 x 75 meter ini sebagai salah satu situs warisan dunia.

Adapun dinding bangunan masjid ini terbuat dari batu lumpur yang dilapisi tanah liat.

Ketebalan dindingnya bervariasi tergantung pada ketinggian dinding, namun pada umumnya mencapai 40 cm hingga 60 cm sehingga cukup kokoh untuk menahan struktur bangunan.

Sementara untuk meminimalisir dampak kerusakan akibat perubahan suhu dan lingkungan, bagian dinding juga diperkuat dengan kayu dari pohon kelapa.


Masjid Agung Djenne, Mali

Pun demikian halnya dengan bagian atap, diperkuat dengan 90 pilar kayu.

Sementara untuk menandai arah kiblat, dibangun tiga menara setinggi 11 meter.

Menara ini memiliki tangga spiral untuk mencapai puncaknya. Di dalam masjid, terdapat beberapa ruangan berukuran besar yang dipisahkan oleh sekat dinding. Dengan ruangan terbesar, digunakan untuk tempat berdoa.

Masjid ini memang terbukti memiliki struktur yang kokoh, akan tetapi karena sifat bahan bangunannya yang rapuh, maka penduduk setempat pun harus cukup tekun merawatnya. Apalagi setelah diguyur hujan.

Perawatan masjid ini dikemas melalui sebuah festival yang digelar tahunan setelah musim hujan.

Para penduduk akan berkumpul di masjid untuk mendengarkan musik dan menyantap aneka makanan. Namun prosesi paling utama yakni bergotong royong untuk memperbaiki bangunan masjid.

Semuanya ikut serta, bahkan anak-anak ikut membantu dengan mencampur tanah liat yang digunakan untuk melapisi bagian dinding.

Para laki-laki memiliki tugas memeriksa dinding-dinding yang retak. Sementara para wanita mempersiapkan makanan untuk mereka yang tengah bekerja.

Dengan tradisi tersebut, masyarakat setempat menggap bahwa masjid ini tak hanya sebagai tempat ibadah namun juga media mempersatukan warga masyarakat dalam ikatan yang kuat semisal dalam festival yang digelar tahunan.

Terlarang untuk Turis

Sayangnya, pada tahun 1996 masyarakat setempat memberlakukan larangan kunjungan ke dalam masjid untuk para turis. Ini dilakukan setelah terjadi peristiwa yang dianggap tidak pantas.

Seorang model Vogue dengan pakaian tak pantas, melakukan sesi pemotretan dengan latar belakang dinding masjid.

Kejadian itu sempat memicu kemarahan warga setempat. Sejak saat itu, mereka pun memberlakukan peraturan yang sangat ketat terhadap pengunjung bahkan beberapa diantaranya dilarang memasuki masjid. Kalau pun ada yang ingin masuk, maka mereka harus diantar atau dipandu oleh penduduk setempat dengan batasan-batasan akses tertentu.
(*)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved