Raperdais Kebudayaan Diharap Ikut Turunkan Angka Kemiskinan

Perdais Kebudayaan nantinya diharapkan dapat memicu perusahaan pengejar profit seperti bank, menaruh dana Corporate Social Responsibility (CSR).

Penulis: mrf | Editor: oda

Laporan Reporter Tribun Jogja, M. Resya Firmansyah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Garis kemiskinan di DIY yang naik cukup signifikan sebesar 7,16% hingga Maret 2015 di banding tahun sebelumnya pada periode yang sama.

Oleh karenanya berbagai pihak mulai memikirkan solusi untuk menurunkan angka tersebut, tak terkecuali Dinas Kebudayaan DIY melalui Raperdais Kebudayaan.

Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Umar Priyono menuturkan, Perdais Kebudayaan nantinya diharapkan dapat memicu perusahaan pengejar profit seperti bank, menaruh dana Corporate Social Responsibility (CSR) untuk kegiatan bertema kebudayaan. Tak terkecuali dalam budaya masyarakat bergotong royong.

“Misalnya, di Jogja ada Perda Kebudayaan, bank tidak ragu-ragu untuk menyalurkan CSR-nya berorientasi pada budaya. Tidak hanya bank, tapi unit bisnis lainnya juga begitu,” ucap Umar, sapaan akrabnya saat ditemui di DPRD DIY, Jumat (27/11/2015).

Dia mencontohkan dalam pembangunan Rumah Tidak Layak Huni (RLTH), perusahaan berfungsi sebagai penyokong dana operasional.

Sementara masyarakat yang bertugas sebagai pelaksana gotong royong dalam membangun rumah tersebut. Untuk menurunkan kemiskinan melalui kebudayaan, pihaknya berfokus pada budaya perilaku masyarakat.

“Kita bangun melalui attitude, cetho. Konsep gotong royong itu sudah berjalan saat Ngayogjazz kemarin. Yang nyiapke semua masyarakat, ada empowermentnya. Budaya menjadi pengungkit kesejahteraan, alon-alon,” jelasnya.

Saat disinggung mengenai mekanisme pelibatan perusahaan, Umar mengaku belum memikirkan sejauh itu. Akan menurutnya, mekanisme tersebut akan menjadi dua skema. Perusahaan ke pemerintah, maupun perusahaan ke pihak yang bersangkutan.

Terpisah, Direktur LSM IDEA, Wasingatu Zakiah berharap, sebelum berpikir lebih jauh terkait melibatkan perusahaan untuk menurunkan CSR di bidang kebudayaan, pihak terkait harus menengok aturan yang sudah ada. Hal ini agar aturan soal CSR menjadi jelas dan tidak tumpang tindih.

“Bagaimana CSR apakah disatukan dengan anggaran pemerintah, perlu dilihat kembali,” ucap Zaki, sapaan akrabnya.

Pun sepengetahuannya, serapan Dana Keistimewaan (Danais) sendiri belum maksimal. Hal tersebut juga wajib menjadi catatan. Ketika Danais belum secara maksimal terserap, mengapa ingin melibatkan perusahaan.

“Makanya CSR itu harus kembali dikaji. Perlu diperjelas konsepnya. Harus seperti apa nanti bentuknya,” imbuh dia.

Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Ichsanuri mengaku mengapresiasi langkah adanya Raperdais Kebudayaan yang akan mengatur soal pengentasan kemiskinan. Namun begitu, menurutnya terdapat dua masalah jika ingin menuntaskan persoalan kemiskinan.

“Pertama soal pengentasan. Pengentasan ini membuat orang yang awalnya betul-betul miskin menjadi mampu. Sedang kedua angka kemiskinan. Misalnya standar BPS menetapkan miskin itu berpendapatan Rp 350 ribu. Angka kemiskinan ini solusinya, kita bantu mereka untuk berpendapatan di atas itu. Biasanya yang ada di angka kemiskinan ini sudah berpendapatan. Makanya perlu perlakuan berbeda,” tukasnya. (tribunjogja.com)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved