Rekanan Tidak Lakukan Pengecekan

Sub tender yang dilakukan pada proyek pengadaan pergola senilai Rp 4,4 miliar ternyata dilakukan secara serampangan.

Penulis: Victor Mahrizal | Editor: oda
kompasiana.com
ilustrasi korupsi 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Victor Mahrizal

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Sub tender yang dilakukan pada proyek pengadaan pergola senilai Rp 4,4 miliar ternyata dilakukan secara serampangan, bahkan perusahaan rekanan tidak melakukan pengecekan meski sudah dibayar lunas.

Fakta ini terungkap dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pergola di Pengadilan Tipikor Yogyakarta, Rabu (21/10/2015) yang mendengarkan kesaksian dari perusahaan rekanan sekaligus dikonfrontir dengan rekan terdakwa, Hendrawan.

Rata-rata perusahaan rekanan mengaku telah menerima pembayaran penuh dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Yogyakarta, namun sejauh mana pekerjaan itu telah selesai mereka tidak pernah melakukan peninjauan.

“Iya, saya mengecek pengerjaan pergola memang betul berdiri, tetapi tidak secara persis mengetahui detailnya,” kata saksi Sumaryati.

Keterangan itu, langsung dikejar oleh Ketua Majelis Hakim Barita Saragih sebagai perusahaan yang mengikatkan perjanjian dengan Negara seharusnya mencocokkan hasil pekerjaan mereka dengan surat perintah kerja (SPK).

Sebagai akibat kelalaian itu, lanjut Barita telah terjadi kerugian pada keuangan Negara. Sementara sejumlah denda yang seharusnya dibayarkan oleh sejumlah perusahaan rekanan ternyata juga tidak pernah digubris.

“Ingat ibu itu bisa diproses karena SPK itu bukti otentik. Ada tanda tangan ibu dengan pejabat Negara yang tengah diproses, kedudukannnya sama ada tugas dan kewajiban, jangan hanya mau duitnya saja,” kata Barita.

Fakta di persidangan, terungkap banyak pihak yang terlibat dalam penggunaan aliran dana senilai Rp 6,6 miliar itu mulai dari pegawai BLH, anggota DPRD Kota Yogyakarta, dan puluhan rekanan yang mengerjakan proyek pergola.

Meski demikian Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY Kita belum membidik terangka baru dalam kasus ini. Jaksa masih akan menunggu sampai putusan untuk mendapatkan fakta hokum materiil sebelum melakukan pengembangan dalam kasus itu.

“Meski indikasi, mutlak harus ada dua alat bukti yang sah untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka,” kata Asisten Pidana Khusus Kejati DIY Azwar.

Hendrawan yang juga menjadi terdakwa dalam kasus ini bersama delapan kawannya itu meminjam bendera perusahaan lain dan membagi-bagi pekerjaan di 26 kelurahan yang memakan anggaran negara Rp 4,4 miliar.

Tercatat ada 25 pemilik perusahaan konstruksi yang mengikatkan namanya dengan BLH Yogyakarta juga mempunyai potensi untuk disidik. Barita menyebut perusahaan itu yang diatas kertas bertanggungjawab atas pekerjaannya.

Dalam kasus pergola yang menyeret tiga orang sebagai terdakwa, yaitu Irfan bertindak sebagai pengguna anggaran (PA), Suryadi, pegawai BLH Yogyakarta selaku pejabat pembuat komitmen (PPK), dan Hendrawan selaku makelar proyek. (tribunjogja.com)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved