Liputan Khusus
Purnawirawan eks Timtim Berharap Dapat Gelar Veteran
Sejauh ini, UU Nomor 15 tahun 2012 tentang Veteran Republik Indonesia justru menghambatnya memperoleh gelar veteran.
Penulis: dnh | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA ‑ Hari ini, Senin 17 Agustus 2015, Indonesia genap berusia 70 tahun. Saat memperingati kemerdekaan, tidak salah apabila saat ini mencoba kilas balik untuk menengok nasib para pejuang yang berkorban untuk bangsa dan negara.
Untuk menghargai jasa-jasa para pejuang tersebut, gelar veteran dianugerahkan kepada mereka, termasuk tunjangan yang otomatis mengikuti gelar tersebut. Namun demikian, belum semua pejuang memperoleh penghormatan dan penghargaan dari negara atas apa yang sudah mereka lakukan.
Salah satu contoh adalah Kolonel (Purn) H Syamsu Anwar, seorang purnawirawan tentara Angkatan Darat yang lama bertugas di Timor Timur. Syamsu adalah salah satu purnawirawan yang berharap bisa memperoleh gelar veteran.
Syamsu bertugas selama 20 tahun di Timor Timur. Ia berangkat pada 1977, satu tahun setelah Timor Timur terintegrasi pada 17 Juli 1976. Meski bertugas di daerah yang sudah terintegrasi dengan Indonesia, menurut Syamsu tugasnya tidaklah ringan, terlebih gesekan‑gesekan dan konflik terus terjadi.
"Sebelum Juli 1976 dan setelahnya sama saja penderitaanya. Setelah 1976 malah lebih menderita, karena terjadi gesekan‑gesekan, apalagi menjelang tahun 1999, luar biasa," kenang Syamsu menceritakan bagaimana kondisi Timor Timur saat ia bertugas di sana.
Terkendala Undang Undang
Untuk itulah, pihaknya bersama purnawirawan lain yang bertugas di Timor Timur pascaintegrasi merasa berhak atas gelar veteran. Sejauh ini, UU Nomor 15 tahun 2012 tentang Veteran Republik Indonesia justru menghambatnya memperoleh gelar veteran.
Disebutkan dalam Undang-undang tersebut, veteran Tomor Timur disebut dengan Veteran Pembela Seroja, yaitu Warga Negara yang melakukan perjuangan Seroja dalam kurun waktu tanggal 21 Mei 1975 sampai dengan tanggal 17 Juli 1976 yang berperan secara aktif dalam operasi/pertempuran dalam kesatuan bersenjata. Sementara yang bertugas setelah itu tidak diakomodir oleh undang-undang.
"Setelah deklarasi Balibo, ternyata yang bertugas di sana sampai tahun 1999 belum masuk dalam UU itu," ujar pria yang sekarang berdomisili di Yogyakarta ini.
Aturan inilah yang hingga kini menimbulkan kecemburuan di antara prajurit yang pernah ditugaskan di Timor Timur. "Jadi masalah, ada yang iri dan cemburu. Korban sama, fisik, mental, perasaan, tiga itu sama disana (antara yang sebelum maupun sesudah Juli 76)," ujar pria yang saat awal ke Timor Timur tergabung dengan Batalyon 711 ini.
Dari beberapa literatur, memang menyebutkan bahwa konflik selalu terjadi saat Timor Timur tergabung ke NKRI. Setelah Juli 1976, gesekan terjadi, terlebih ada perbedaan pandangan antar partai yang ada disana, terutama antar partai yang pro integrasi dengan partai yang pro kemerdekaan, seperti Fretilin.
3.000 prajurit gugur
Sementara itu, menurut Jenderal TNI (Purn) Wiranto dalam prolog buku Timor Timur The Untold Story menyebutkan, setelah berintegrasi dengan Indonesia, konflik di provinsi ke-27 Indonesia saat itu terus berlanjut. Wiranto menyebutkan aparat keamanan Indonesia diposisikan meredam gerakan anti integrasi, lebih dari 20 tahun.
Dimana menurutnya lebih dari 3.000 prajurit gugur dan kurang lebih 2.000 cacat permanen. Sementara Operasi Keamanan Dalam Negeri (Opskamdagri) harus berubah menjadi operasi Perdamaian mengawal penentuan jajak pendapat.
Terkait dengan data yang tidak mendapatkan gelar kehormatan veteran, Syamsu yang kini menjabat sekretaris PPAD DIY ini menyebutkan pihaknya tengah mendata purnawirawan yang ada. "Kita meminta Undang‑undang disempurnakan, supaya semua diberikan yang sama," katanya.