Liputan Khusus
Jalan Lempang di Jembatan Timbang
Masih ingat amuk Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di jembatan timbang Subah, Batang, pada Minggu malam, 28 April 2014?
Penulis: oda | Editor: tea
Laporan Reporter Tribun Jogja, Obed Doni Ardiyanto
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Masih ingat amuk Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di jembatan timbang Subah, Batang, pada Minggu malam, 28 April 2014? Gambaran serupa praktik "meloloskan" truk-truk bertonase raksasa terpantau di dua jembatan timbang di DIY.
Awak truk telah menyiapkan uang "denda" sebelum truk masuk jembatan timbang, dan "denda" pun disetorkan ke petugas yang berjaga. Ada pula cuma awaknya yang masuk ke ruang kontrol penimbangan, sedangkan truknya melaju pelan di jalan raya.
Tak butuh waktu lama sehingga urusan beres, dan truk-truk yang over tonase itu pun melaju lempang ke tujuan berikutnya. Demikian hasil pengamatan dan penelusuran khusus reporter Tribun dalam dua pekan terakhir.
Limpahan konvoi truk-truk skala berat ini meningkat drastis sejak jembatan Comal di antara Pekalongan-Pemalang ambles sebelum Idul Fitri lalu. Truk-truk ala "Optimus Prime" yang biasa lalu lalang di jalur Pantura mlipir ke selatan karena tak ada rute besar lagi yang bisa dilalui.
Praktik "denda tembak" itu diduga kuat terjadi karena terpantau tak pernah ada sanksi penurunan barang bagi truk-truk yang over kapasitas. Bukti denda pun juga sangat jarang diterima awak truk yang seperti otomatis langsung masuk ruang petugas.
Padahal berdasar Keputusan Menteri Perhubungan No 5 Tahun 1995, konsekuensi kelebihan muatan bagi setiap armada adalah muatan harus diturunkan di tempat. Jika kena denda pun, pelanggar harus diberi bukti pembayaran denda sesuai tarif yang ditentukan.
Risiko longgarnya kontrol atas truk-truk yang over tonase melewati jalan raya di DIY, atau pembiaran atas pelanggaran tonase jalan raya ini, maka umur dan kerusakan jalan pun bakal lebih cepat terjadi.
Siapkan uang
Berdasarkan pengamatan Tribun Jogja di dua jembatan timbang di Kalasan dan Berbah, para sopir atau kernet kendaraan angkutan berat selalu menyiapkan uang untuk membayar denda akibat kelebihan muatan yang mereka bawa.
Setelah memasuki area jembatan timbang, kernet truk-truk besar tersebut sering kali turun terlebih dulu sebelum kendaraannya menyentuh papan timbangan. Saat kernet masuk ruang petugas, kendaraan angkutan berat itu melaju mulus melewati pelat timbangan.
Selesai membayar denda, kernet truk langsung menyusul truk untuk naik kembali di samping pengemudi. Bagi truk yang tidak membawa kernet, sopir yang langsung membereskannya. Mereka langsung menghentikan truknya sebelum melewati pelat timbangan, atau setelahnya.
Kemudian sopir ini masuk ke kantor menemui petugas piket. Sesudah beres kemudian melanjutkan perjalanan. Meski mereka membayar apa yang selalu disebut "denda" kelebihan muatan, namun praktik penurunan kelebihan muatan atau Jumlah Berat yang Diizinkan (JBI) tak pernah terjadi.
"Sudah bisa kelihatan. Jika sopir atau kernetnya turun dari truknya itu kelebihan muatan. Mereka membayar (denda) karena kelebihan muatan," aku seorang sopir truk angkutan berat, Arif, ditemui di suatu tempat di Kalasan beberapa waktu lalu.
Arif yang mewanti-wanti tak diungkap identitas aslinya, membeberkan, jembatan timbang di DIY jarang menurunkan muatan truk yang melebihi tonase. Padahal upaya itu pernah dilakukan jembatan timbang Tamanmartani, Kalasan, di awal pengoperasian.
"Dulu awal-awalnya ada yang diturunkan muatannya. Namun kini sudah tidak ada lagi. Kurang tahu alasannya apa," kata Arif saat ditemui tengah beristrahat di sebuah warung makan tak jauh dari lokasi jembatan timbang tersebut.
Hasil temuan lain dari penelusuran dan pemantauan lapangan oleh Tribun, ada pula praktik truk berat yang sengaja tidak masuk ke jembatan timbang, kemudian diberhentikan petugas dari balik pagar pos. Truk itu memang berhenti.
Sopir atau kernet dari truk yang berhenti di pinggir jalan depan jembatan timbang Kalitirto, Berbah, Sleman itu kemudian turun. Berjalan kaki, ia bergegas menghampiri ruang petugas dan masuk ke dalamnya.
Kurang dari semenit, awal truk itu keluar menuju kabin truk, dan armada berat itu melaju trengginas. Kali lain dalam pemantauan selama dua jam tanpa henti, tak satupun truk berat yang melintas masuk ke jembatan timbang. Petugas pun juga terlihat acuh.
Tak masuk
Seorang sopir truk tronton pengangkut semen seberat 50 ton, Joko (28), sejak lalu lalang lewat jalur DIY, dia tidak pernah masuk ke dalam jembatan timbang. Alasannya, jembatan timbang di wilayah DIY tak mampu mengukur tonase truknya.
"Jembatan timbang di Yogyakarta tak dapat menimbang berat muatan sampai 50 ton. Jembatannya bisa rusak, maka kita jalan terus saja. Jarang dihentikan petugas jembatan timbang," akunya saat ditemui di salah satu titik perhentian di Prambanan.
Warga asal Jatim itu mengatakan, biasanya truk-truk yang masuk jembatan timbang di DIY membawa beban berat tidak melebihi 30 ton. Meski demikian, sopir yang menggunakan truk trailer bernopol AG itu mengakui truknya melebihi tonase.
"Muatan truk saya melebihi tonase. Kalau truk seperti itu, berat yang dibawanya paling sekitar 25 ton. Itu yang bisa masuk ke jembatan timbang," katanya sembari menunjuk truk yang lewat di jalan raya Prambanan-Klaten.
Atas sejumlah temuan dan dugaan praktik "denda" mengarah pungli ini, seorang petugas Dishubkominfo DIY, Purwanto, menilai tindakan membiarkan truk berat yang diduga kuat kelebihan muatan itu tidak tepat.
"Kalau saya itu harusnya masuk untuk saya timbang. Jika muatannya lebih kita berlakukan tilang dan denda. Kalau pun sudah bawa surat tilang berarti kita denda," kata Koordinator Petugas Pos Jembatan Timbang Kalitirto ini.
Angkutan tebu
Meski telah memiliki surat-surat lengkap, dan bahkan surat tilang, lanjutnya truk tersebut tetap harus masuk ke jembatan timbang.
"Seharusnya tetap masuk karena kita perlu bukti timbang, dan punya alatnya. Kalau nggak pakai, saya tidak mau," tegasnya.
Tetapi demikianlah praktik itu seolah lazim terjadi. Tentang ketentuan penurunan barang bagi truk yang kelebihan muatan, Purwanto mengatakan jika kelebihan barang masih di bawah 25 persen dari berat yang diizinkan, maka hanya terkena denda.
"Kalau lebih dari 25 persen, akan ditilang. Namun jika sudah terkena tilang di daerah lain berarti sudah tidak bisa ditilang lagi. Kita masukkan ke denda kompensasi. Dendanya bervariasi, mulai Rp 10 ribu sampai Rp 50 ribu, tergantung jenis kendaraannya," urainya.
Menurutnya, DIY saat ini hanya lokais transit truk-truk yang bergerak antara Jatim, Jabar hingga Jabodetabek. "Kalau sudah ditilang di daerah lain, maka kita istilahnya banyak denda. Namun kita tidak memungkiri melakukan penindakan. Rata-rata sebulan kurang lebih 200 (penindakan)," katanya.
Selain soal kelebihan muatan, juga kerap terdapat truk-truk pengangkut tebu melebihi batas tinggi bak truk. Bahkan saat diamati truk tersebut tampak miring atau tidak stabil ketika berbelok. Namun, petugas jembatan timbang memiliki alasan tersendiri.
"Untuk angkutan tebu kan semacam membantu perekonomin daerah. Artinya diperlakuan beda untuk mendukung pabrik gula di wilayah Yogya. Kalau komitmen tidak, tapi intinya dibantu," pungkasnya.(oda)