Tisu yang Merusak Lingkungan

Bila satu gulungan tisu memiliki berat 200 gram, dalam sehari tisu yang dipakai seberat 20.000 ton

zoom-inlihat foto Tisu yang Merusak Lingkungan
herman-salim.blogspot.com
Ilustrasi : Tisu

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - KITA sering bersikap ambivalen dalam isu lingkungan hidup. Gemar membuat aneka gerakan dan retorika bertema "peduli lingkungan hidup" dan memproduksi slogan-slogan bak pahlawan Bumi, namun realita keseharian justru sebaliknya. Dari yang terlihat sepele: penggunaan tisu, misalnya.

Nyaris di manapun, tisu mudah kita temukan. Di dalam kantong, tas, dompet, meja restoran hingga di toilet, tisu sangat eksis. Sifatnya yang praktis, mudah didapat, harga murah, membuat tisu menjadi barang multi purpose menggantikan sapu tangan dan kain serbet. Namun, di balik 'kenyamanan' yang ditawarkan tisu, ada ironi besar.

Tisu dibuat dari pulp (bubur kertas) yang berasal dari kayu pohon hasil penebangan hutan. Jika dalam sehari, separuh penduduk Indonesia menggunakan setengah gulung tisu, artinya butuh sekitar 100 juta gulungan tisu per hari. Bila satu gulungan tisu memiliki berat 200 gram, dalam sehari tisu yang dipakai seberat 20.000 ton.

Bisa dibayangkan, berapa jumlah pohon harus ditebang? berapa hektar hutan mesti digunduli? Bila satu ton pulp butuh lima m3 kayu bulat.

Dalam catatan Kementerian Kehutanan, hutan di Indonesia menyusut 1,5 juta hektare per tahun. Padahal, berbicara tentang hutan, itu bukan soal pohon semata, namun semua spesies makhluk hidup yang terkait, termasuk fauna. Hilangnya hutan berarti hilangnya kehidupan fauna hutan.

Hilangnya hutan akan mengundang banjir dan tanah longsor. Eliminasi hutan juga menjadi ancaman hilangnya sumber air dalam tanah. Sebab, tiada lagi yang berfungsi sebagai penangkap dan penyimpan air hujan. Lantas terjadi krisis air.

Contoh nyata di Pulau Jawa di mana hutan yang tersisa tak lebih dari lima persen dari total luas pulau. Banyak wilayah di Jawa mulai defisit air dan kekeringan saban tahun, akibat hilangnya hutan. Padahal air merupakan sumber kehidupan di Bumi. Namun, perilaku harian kita pun tidak arif terhadap air.

Orang jarang berpikir terhadap ancaman krisis air. Apalagi di zaman serba pencitraan dan senang dapat 'wah' seperti sekarang. Perilaku boros air menjadi tumbal kehidupan masa kini. Sering kita saksikan orang begitu mudah menjadi risi manakala mobilnya terkena noda debu sedikit saja.

Mobil dicuci setiap hari, di rumah maupun di tempat pencucian. Alangkah sayangnya melihat air disemprotkan nyaris tiada putus selama 15 menit hingga setengah jam untuk sekali cuci sebuah mobil. Kubikan meter air bersih hilang demi memelihara nafsu 'pencitraan'.

Itu sangat berlebihan! Bila mobil terkena debu jalanan, alangkah bijak bila hanya dibersihkan pakai lap. Pakai air secukupnya saja, menggunakan ember kecil sekedar untuk membasahi lap. Penggunaan air tanah yang tidak bijak tersebut, diperparah oleh tersia-sianya air permukaan, misalnya sungai.

Sudah bergenerasi bangsa ini menganggap sungai sebagai tempat pembuangan akhir. Segala sampah dibuang ke sungai. Limbah industri dan rumah tangga pun disalurkan ke sungai.

Entah nalar apa yang mendasari bahwa sungai sama dengan tempat sampah. Padahal, sungai sumber kehidupan aneka spesies yang hidup di dalamnya, termasuk yang dimakan manusia. Sungai sejatinya cadangan air permukaan bagi kehidupan manusia. Nyaris sebagian besar sungai di Indonesia tercemar dan tak layak konsumsi.

Ancaman lain terhadap kehidupan adalah menumpuknya material yang tak mudah terurai di alam, contohnya plastik dan styrofoam. Life style atau gaya hidup masa kini penyumbang terbesar penumpukan material yang tak ramah lingkungan tersebut. Pembungkus makanan cepat saji pakai styrofoam, belanja di mal pakai bungkus plastik.

Daun pisang dan jati sebagai pembungkus makanan alami dianggap ketinggalan. Masih rendah pula kesadaran berbelanja pakai kantong sendiri yang bisa dipakai berulang. Alam butuh ratusan tahun untuk menguraikan plastik, bahkan styrofoam tidak bisa terurai di alam.

Berbicara lingkungan hidup tidak mesti muluk-muluk. Faktor terpenting dalam upaya melestarikan lingkungan hidup adalah perilaku keseharian yang arif terhadap lingkungan. Mengubah gaya hidup dengan mengurangi penggunaan tisu, styrofoam, plastik dan air sudah berandil besar bagi penyelamatan lingkungan. Membiasakan memakai sapu tangan, lap dan daun pisang ternyata sudah ikut menyelamatkan lingkungan hidup. (*)

Danang Probotanoyo
Centre for Indonesia Reform Studies/Alumnus UGM

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved