Dugaan Jual Beli Fasilitas Lapas
Sel VIP Koruptor Bertarif Rp 25 Juta
Penghuni blok napi Tipikor di Lapas Kedungpane, kepada Tribun mengaku merogoh kocek Rp 25 juta untuk mendapatkan kamar
Penelusuran Tribun Jateng menguatkan tudingan itu. Di Lapas Kelas I-A Kedungpane Semarang, misalnya, para terpidana Tipikor mengaku melakukan "transaksi" dengan pihak oknum petugas atau sipir Lapas untuk mendapatkan fasilitas dan akses lebih di dalam Lapas, yang sebetulnya melanggar aturan.
Anto (bukan nama sebenarnya) yang menghuni blok napi Tipikor di Lapas Kedungpane, kepada Tribun mengaku merogoh kocek Rp 25 juta untuk mendapatkan kamar yang saat ini ditempatinya.
Aroma pungutan liar (pungli) untuk mendapatkan fasilitas khusus sudah tercium sejak Anto masuk Lapas. Ketika itu, ia langsung ditawari "uang pembangunan", istilah di Lapas untuk menyebut biaya mendapatkan kamar yang istimewa atau VIP untuk standar Lapas.
Nominal "uang pembangunan" berkisar Rp 5 juta hingga Rp 25 juta. Semakin besar uang dikeluarkan, semakin wah kamar yang bisa dinikmati. Menurut Anto, kepada dirinya oknum sipir itu menyebut sejumlah harga lengkap dengan fasilitas yang akan didapatkannya.
Layaknya tenaga marketing hotel yang menawarkan tarif kamar beserta layanannya, oknum sipir itu menawarkan harga Rp 5 juta kalau Anto ingin ditempatkan di kamar berkapasitas enam hingga tujuh tahanan. Bila ingin tinggal di dalam kamar yang lebih nyaman (di Lapas, istilahnya VIP) yang hanya diisi satu orang, Anto diminta membayar Rp 25 juta.
Setelah berpikir beberapa saat, sambil menyaksikan berjubelnya Lapas di blok Tipikor yang seharusnya berkapasitas 60 orang namun terisi 140 warga binaan, Anto pun memilih layanan paling wah. "Saya membayar uang pembangunan Rp 25 juta agar bisa mendapatkan kamar yang saya tempati sendiri," ungkap Anto.
Begitu Anto masuk ke kamar VIP bertarif Rp 25 juta itu, ia pun bisa tidur nyenyak. Selain tak terganggu suara berisik dari napi lain, ia juga bisa menikmati kasur lebih tebal dan empuk dibanding yang ada di kamar lain.
Meskipun mahal, peminat kamar VIP ini ternyata bukan hanya Anto. Seorang penghuni lain juga memilih kamar sejenis, tepat berada di depan sel Anto. Namun, berapa uang yang harus dikeluarkan orang yang cukup terkenal di Jateng ini, Anto tidak mengetahuinya.
Meski sudah tinggal sendiri di sel dan mendapatkan kasur empuk, untuk ukuran orang yang biasa hidup enak di luar penjara, Anto masih membutuhkan fasilitas lain. Hal yang sama juga biasa dirasakan napi lain di blok Tipikor.
Untuk mendapatkan fasilitas tambahan, Anto harus mengeluarkan "uang perabot". Anto kemudian mengendus informasi untuk bisa mendapatkan fasilitas lain. Berdasarkan cerita dari penghuni lain, Anto harus mengeluarkan Rp 20 juta bila kamarnya terpasang AC.
Namun sayang, niat Anto tak kesampaian. Permintaannya pada oknum sipir tak bisa direalisasikan. Pasalnya, sejak Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) HAM, Denny Indrayana, kerap menggelar sidak, sipir tak lagi punya nyali memberi fasilitas ini. "Sekarang, agar tidak kepanasan, fasilitas yang saya peroleh hanya kipas angin. Termasuk di beberapa kamar lain," kata dia.
Selain uang pembangunan dan uang perabot, Anto juga masih mengeluarkan uang bulanan. Layaknya anak sekolah, pembayaran ini disebut "uang SPP" yang diserahkan langsung Anto dan sejumlah napi lain kepada sipir tertentu. "Saya bayar Rp 200 ribu. Kalau yang lain, besarnya bervariasi," tambah Anto.
Uang yang keluar dari kantong Anto belum berhenti. Saat ia ingin keluar sel ketika kamar telah dikunci, dia juga harus membayar "uang kunci" yang tarif termurahnya Rp 20 ribu. Bahkan, Anto pernah mendengar, ada napi membayar Rp 1 juta untuk membuka sel hanya gara-gara ia ingin menonton siaran sepakbola di televisi hingga dini hari.
Anto kemudian mencoba menghitung biaya yang dikeluarkan setiap bulan. Bila "uang SPP", "uang kunci" ditambah pengeluaran untuk kebutuhan harian (mulai makan, minum, rokok), maka yang harus ditanggungnya mencapai Rp 10 juta. "Lebih mahal ketimbang hidup di luar," katanya.
Cerita yang sama juga terdengar dari Rumah Tahanan (Rutan) Klas 1 Solo. Seorang mantan pejabat yang pernah mendekam di tempat itu mengaku, setoran yang diberikan kepada petugas bisa membuat tahanan menikmati berbagai fasilitas.
"Awalnya sempat kepikiran, pasti bakal stres di dalam (penjara) karena tak bisa ini, tak bisa itu. Tapi ternyata bagi yang punya duit, bisa membeli fasilitas," kata pria yang tersandung kasus korupsi pada 2011 lalu itu.
Sayangnya, ia enggan merinci harga fasilitas yang dinimatinya saat mendekam di Rutan Solo. "Pokoknya tahanan yang punya uang bisa apa saja. Jangan sangka di dalam penjara juga tak butuh uang, malah butuh banyak," kilahnya.
Uang Besuk
Sejumlah pengeluaran itu juga diamini napi lain yang menghuni blok Tipikor. Menurut Bayu (bukan nama sebenarnya), berkat setoran dari 140 penghuni blok Tipikor, Lapas bisa hidup. "Yang menghidupi Lapas, ya yang di Tipikor ini," kata Bayu, seorang napi Tipikor.
Namun saat ditanya besar setoran yang diberikannya, dia tidak mau mengungkapkannya. Hanya saja, ia meminta Tribun menyaksikan langsung perlakuan berbeda yang diberikan pada napi Tipikor dibanding warga binaan lain ketika mereka menerima tamu.
Ketika itu, sejumlah napi Tipikor sedang menerima kunjungan dari keluraga dan koleganya. Meski sudah sekitar 10 menit melewati jam berkunjung, napi Tipikor tetap diizinkan berbincang. Padahal, saat itu sipir sudah meminta para pengunjung blok selain Tipikor, segera meninggalkan ruang besuk di Lapas.
Kenapa perlakuannya bisa berbeda?
"Kalau selain Tipikor, napi yang bersangkutan (menerima kunjungan melebihi waktu) akan dikenai charge (biaya). Kami tidak dikenakan charge karena ini," kata dia sambil jari tangan kanannya memberikan kode tentang uang.
Pengakuan senada disampaikan Suprihadi, yang sejak akhir Desember 2012 lalu sudah tiga kali membesuk koleganya di Lapas Kedungpane Semarang. Warga Banjarnegara ini mengaku harus menyediakan Rp 60 ribu setiap kali kunjungan. "Ada salam tempel. Sekali besuk dihitung-hitung bisa habis Rp 60 ribu," kata pria berusia 50-an tahun ini.
Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkum HAM Jateng, Suwarso, tidak memungkiri ada oknum pegawai nakal di Lapas yang berada di wilayahnya. Ia jjuga tidak menampik ada kemungkinan pungli di beberapa Lapas atau berbagai penyalahgunaan kewenangan bentuk lain.
"Beberapa waktu lalu saya ditelepon Dirjen (Dirjen Pemasyarakatan). Katanya ada tahanan Tipikor yang memasukkan perempuan (ke Lapas). Setelah saya cek, ternyata petugas perempuan berpakaian preman yang mengurus kebebasan narapidana," tuturnya kepada Tribun Jateng, Jumat (10/5).
Ia mengatakan, banyak dugaan pungli di Lapas tapi terkadang sulit dibuktikan. Ibaratnya seperti kentut, tercium baunya tapi tidak bisa dilihat wujudnya. Oleh karena itu, pihaknya membutuhkan bukti dan data yang akurat terkait dugaan pungli itu.
Suwarso menjamin, jika ada bukti atau data, pihaknya akan segera menelusuri. Jika ada oknum pegawai Lapas yang terlibat, ia akan terkena hukuman apakah itu sanksi administratif, penundaan pangkat hingga pemecatan.
"Masalah kayak gini harus pelan-pelan (menanganinya), karena sudah jadi kebiasaan. Biasanya ada yang menawarkan dan ada yang mau," tuturnya.
Pria asal Purwokerto itu menambahkan, solusi paling cepat adalah tidak memberikan kesempatan pada oknum pegawai Lapas yang bermain uang. Dengan begitu, maka kebiasaan pungli lama-lama akan hilang. (tribun jateng)