Dugaan Jual Beli Fasilitas Lapas

Pindah ke Sel yang Lebih Nyaman Napi Bayar Rp 1,5 Juta

Warga binaan di Lapas Kedungpane, Joker (bukan nama sebenarnya) mengatakan, pungutan sudah dimulai ketika seorang napi masuk sel.

Editor: Rina Eviana Dewi



TRIBUNJOGJA.COM, SEMARANG
- Penyediaan fasilitas lebih di dalam Lapas serta dugaan pungutan liar yang dilakukan oknum sipir, ternyata tidak hanya ada di blok narapidana (napi) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tapi juga di blok lain.

Warga binaan di Lapas Kedungpane, Joker (bukan nama sebenarnya) mengatakan, pungutan sudah dimulai ketika seorang napi masuk sel.

Menurutnya, napi yang baru tiba di Lapas Kedungpane akan menghuni sel karantina selama sebulan. Namun, oknum sipir kemudian datang dan menawari fasilitas keluar dari ruang karantina yang berpenghuni puluhan orang.

"Kami (narapidana) bisa saja hanya dua hari di karantina dan dipindah ke sel, dengan catatan membayar Rp 1,5 juta-Rp 2 juta. Dalihnya, ya karena sudah dibantu dikeluarkan dari ruang karantina," kata Joker.

Mantan warga binaan kasus narkoba yang kini sudah menghirup udara bebas, Budi (bukan nama sebenarnya), menceritakan hal serupa. Pria yang sudah beberapa kali mendekam di Lapas Kedungpane ini, menyebut bahwa untuk memperoleh kamar yang diinginkan, oknum sipir mematok tarif tertentu.

Budi mengaku pernah mengeluarkan Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu untuk bisa pindah ke sel yang penghuninya sudah dikenal. Alasannya sederhana. Apabila teman satu kamar tidak dikenalnya, dia tidak betah. "Kalau tidak kenal, memungkinkan berkelahi terus," katanya.

Besaran tarif yang dipatok oknum di Lapas untuk mendapatkan kamar yang diinginkan, juga diakui mantan warga binaan yang baru saja menghirup udara bebas awal 2013, Agung (bukan nama sebenarnya).

Beda dengan Anto yang merogoh kocek hingga Rp 25 juta dan Budi yang hanya mengeluarkan Rp 500 ribu, Agung harus membayar Rp 1,5 juta agar bisa tinggal di sel yang lebih nyaman.

Setelah napi mendapat kamar yang diinginkan, mereka masih harus membayar uang bulanan yang biasa disebut uang SPP. Joker mengungkapkan, oknum sipir biasanya meminta jatah  Rp 200 ribu per bulan per kamar. Jadi, sejumlah penghuni kamar akan patungan untuk membayarnya.  "Kalau tidak mau memberi (uang SPP), maka hampir setiap hari terkena ope (sebutan untuk operasi atau razia kamar)," katanya.

Meski telah membayar "uang SPP", para napi masih harus membayar uang besuk. Setiap mendapat kunjungan kerabat atau teman, Joker dan penghuni penjara lain dimintai uang di pos penjagaan blok. Tarifnya untuk tahanan titipan sekitar Rp 20 ribu, sedangkan napi sekitar Rp 10 ribu.

Sedangkan Budi mengaku harus mengeluarkan "uang SPP" Rp 40 ribu per bulan. Selain itu, dia masih mengeluarkan uang mingguan Rp 10 ribu. Jadi, biaya tetap yang harus dikeluarkan Budi selama di Kedungpane minimal Rp 80 ribu per bulan.

"Biasanya, uang itu diserahkan setelah saya dibesuk keluarga. Jika bulan ini saya tidak setor, maka bulan depan akan diakumulasikan," jelas Budi.

Melihat fenomena jual beli fasilitas lapas yang diakui napi itu, Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkum HAM Jateng, Suwarso, tidak memungkiri ada oknum pegawai nakal di Lapas yang berada di wilayahnya. Ia jjuga tidak menampik ada kemungkinan pungli di beberapa Lapas atau berbagai penyalahgunaan kewenangan bentuk lain.

"Beberapa waktu lalu saya ditelepon Dirjen (Dirjen Pemasyarakatan). Katanya ada tahanan Tipikor yang memasukkan perempuan (ke Lapas). Setelah saya cek, ternyata petugas perempuan berpakaian preman yang mengurus kebebasan narapidana," tuturnya kepada Tribun Jateng, Jumat (10/5).

Ia mengatakan, banyak dugaan pungli di Lapas tapi terkadang sulit dibuktikan. Ibaratnya seperti kentut, tercium baunya tapi tidak bisa dilihat wujudnya. Oleh karena itu, pihaknya membutuhkan bukti dan data yang akurat terkait dugaan pungli itu.

Suwarso menjamin, jika ada bukti atau data, pihaknya akan segera menelusuri. Jika ada oknum pegawai Lapas yang terlibat, ia akan terkena hukuman apakah itu sanksi administratif, penundaan pangkat hingga pemecatan.

"Masalah kayak gini harus pelan-pelan (menanganinya), karena sudah jadi kebiasaan. Biasanya ada yang menawarkan dan ada yang mau," tuturnya.
Pria asal Purwokerto itu menambahkan, solusi paling cepat adalah tidak memberikan kesempatan pada oknum pegawai Lapas yang bermain uang. Dengan begitu, maka kebiasaan pungli lama-lama akan hilang. (tribun jateng)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved