Ramadan 1433 H

Jadikan Ramadan Bulan untuk Introspeksi

Bulan Ramadan merupakan kesempatan emas untuk bertafakkur atau introspeksi diri,

zoom-inlihat foto Jadikan Ramadan Bulan untuk Introspeksi
internet
HM Cholil Nafis LC PhD
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Tidak ada manusia yang sempurna bahkan terbebas dari dosa. Bulan Ramadan merupakan kesempatan emas untuk bertafakkur atau introspeksi diri, seberapa banyak dan apa saja dosa yang telah kita perbuat selama ini.

Rasulullah SAW dengan tegas menyatakan, siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia termasuk orang yang beruntung. Kalau sama dengan kemarin? Ia merugi. Kalau lebih buruk dari kemarin? Maka ia terlaknat. (HR Bukhari). Pernyataan ini dengan tegas mengajarkan kepada umat manusia untuk bisa menapak hari esok yang lebih baik.

Sebelum melangkah, tentunya harus mengintrospeksi atau mengevaluasi. Jangan sampai kesalahan yang lalu terus diulang, tanpa ada perbaikan. Pepatah bilang, "Jangan sampai terjatuh di lubang yang sama." Karena itu, Islam sangat menganjurkan pemeluknya melakukan introspeksi diri.

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Qs Al Hasyr 18).

Firman Allah dalam surat al-Hasyr ayat 18 tersebut mengandung, orang-orang yang beriman dianjurkan menelaah lagi segala amal perbuatan yang telah dilakukan untuk menyongsong kebaikan di hari esok. Mana saja perbuatan yang dapat mendatangkan manfaat, mana pula yang justru berakibat menjatuhkan kita ke dalam kubangan dosa.

Untuk mengetahui hal tersebut, Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin memberikan tuntunan mendeteksi pembangkit dosa yang bersumber dari sifat-sifat dalam diri manusia. Pertama, sifat rububiyah atau ketuhanan. Dari sifat ini dapat memicu perbuatan dosa, di antaranya sombong, membanggakan diri, mencintai pujian dan sanjungan, mencari popularitas, dan lain sebagainya. Ini termasuk dosa yang merusak, sekalipun banyak orang yang melalaikannya.

Kedua, sifat syaithaniyah atau kesetanan. Bersumber dari sini, muncullah benih-benih kedengkian, kesewenang-wenangan, menipu, berdusta, makar, kemunafikan, dan hal-hal yang menyuruh pada kerusakan. 

Ketiga, sifat bahamiyah atau kebinatangan. Tindakan dosa yang didorong oleh sifat ini adalah kejahatan, memenuhi nafsu perut dan syahwat kemaluan, zina, homoseks dan mencuri. 

Keempat, sifat sabu'iyah atau kebuasan. Sifat terakhir ini mendorong nafsu dan sikap amarah, dengki, menyerang orang lain, membunuh, merampas harta, dan korupsi.

Dari berbagai sifat yang dapat memicu perbuatan dosa tersebut, manakah yang telah merasuk dan menjadi bagian dari keseharian kita selama ini? Itulah yang harus ditinggalkan. Kita harus pandai-pandai menghitung, mengevaluasi, dan instrospeksi terhadap diri sendiri, sebelum datang hari penghitungan (yaum al-hisab) kelak di akhirat.

Sinyal ini sudah pernah diutarakan Umar bin Khaththab, "Hisablah dirimu sendiri sebelum kamu dihisab di akhirat kelak. Timbang-timbanglah amal perbuatanmu sebelum ia ditimbang di akhirat," kata Umar sebagaimana riwayat dari Abu Nu'aim dalam kitab al-Hilyah.

Untuk memudahkan klasifikasi, hasil introspeksi itu dituangkan dalam daftar dosa. Lalu, kita persiapkan diri untuk benar-benar bertaubat dengan niat yang tulus dan sungguh-sungguh. Rasulullah SAW. bersabda, "Setiap anak Adam adalah sering berbuat salah. Dan, sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang-orang yang bertaubat." (HR Tirmidzi).

Apa itu taubat? Taubat adalah raja an al-itsmi, yaitu meninggalkan segala perbuatan tercela (dosa) untuk melakukan perbuatan yang terpuji. Taubat yang tingkatannya paling tinggi di hadapan Allah SWT adalah taubat nasuha, yaitu taubat yang murni. 

Sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Tahrim: 66, "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya (taubat nasuha)."

Maksud taubat murni adalah menyesali dosa-dosa yang dilakukannya di masa lalu dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi, kapanpun dan di manapun. Sahabat pernah bertanya, apakah penyesalan itu taubat? "Ya", jawab Rasulullah (HR Ibnu Majah). Ulama besar dari Bashrah, Abu Amr ibn al-Ala al-Basri mengatakan, "Taubat nasuha adalah apabila kamu membenci perbuatan dosa sebagaimana kamu pernah mencintainya."

Walhasil, taubat dengan penyesalan dosa ini harus dibarengi dengan tiga paket amaliyah, yaitu: niat dalam hati (qalb), mengaku berdosa dengan memperbanyak istighfar (lisan), dan melakukan tindakan ketaatan dan tekun ibadah (fi'l). (*)

Oleh : HM Cholil Nafis Lc PhD
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved