Ramadan 1433 H
Berpuasa untuk Menyapih Nafsu
Menurut ulama besar Imam al-Bushoiri, nafsu itu sama dengan bayi. Ia akan selalu meminta susu kepada ibunya sampai ia disapih.
Inti disyariatkannya puasa adalah menahan diri dan mengendalikan sahwat kemanusiaan, yaitu sesuatu yang menjadi keinginan dan dan kebutuhan manusia. Sahwat tersebut seperti keinginan makan, minum, dan hubungan seks dengan pasangan kita. Tetapi, semua itu harus kita tahan dalam jangka waktu tertentu --yang sebenarnya halal-- karena semata-mata mengharap ridha Allah SWT.
Puasa Ramadan yang kita tunaikan sebulan penuh, dapat mempersempit ruang gerak dan kesempatan setan untuk menggoda manusia. Sebab pada saat berpuasa jaringan lemak dalam aliran darah menyempit sehingga setan tidak dapat melewatinya.
Maka, dengan berpuasa di bulan Ramadan seharusnya seseorang dapat mengurangi bahkan menghindari perbuatan dosa. Hasil akhirnya adalah seorang muslim dapat melatih kesabaran untuk taat kepada Allah SWT dan sabar meninggalkan maksiat. Saat berpuasa, sepanjang harinya seluruh nafas, gerak dan langkahnya adalah sukur yang bernilai pahala. Bahkan tidur sekalipun, orang berpuasa mendapat pahala.
Selain itu, latihan menahan nafsu dan sahwat selama Ramadan, dapat membentuk karakter seseorang untuk menjadi tangguh, pejuang ulet yang tidak mudah menyerah. Maka kemenangan saat datang Lebaran disambut bagai mujahid di jalan Allah SWT dengan kumandang takbir Akbar kemenangan.
Puasa adalah sarana pendidikan untuk kejujuran. Seseorang yang sedang berpuasa melatih diri untuk sportif dan konsisten di jalan kebenaran. Orang yang berpuasa merasa selalu dilihat dan diawasi oleh Allah dalam setiap detik dan langkah, sehingga terhindar dari kepura-puraan dan perbuatan manipulasi.
Demikian juga puasa Ramadan dapat memadukan antara kehidupan raga dan jiwa, bahkan saat berpuasa seseorang ibarat tengah mengasah batinnya menuju ketajaman yang sejati. Karenanya, akan muncul kepedulian dan empati kepada orang yang yang kurang mampu dan tidak berdaya. Syariat mewajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah di akhir pelaksanaan puasa adalah cermin dari kebersihan jiwa yang telah mendapatkan fitrahannya dan meraih nilai kemanusiaan.
Puasa Ramadan adalah sesuatu yang istemewa dan dikerjakan hanya untuk Allah SWT semata. Jika semua nilai ibadah akan dilipatgandakan oleh Allah SWT menjadi sepuluh atau tujuh ratus kali lipat, maka semua ibadah dan amal baik yang kita lakukan selama berpuasa Ramadan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah sampai tidak ada batasnya (unlimited).
Mengapa? Sebab, orang yang sedang berpuasa telah rela meninggalkan yang halal bagi dirinya karena semata-mata mengharap rahmat dan ampunan Allah SWT serta pembebasan dari api neraka. Inilah yang harus kita jadikan pedoman, utamanya dalam sepuluh hari terakhir menuju garis finish ibadah puasa Ramadan.
Itulah esensi puasa Ramadan. Esensi tersebut tak lain adalah ketakwaan kepada Allah SWT. Beribadah bukan semata-mata karena ingin mendapat pahala dan surga-Nya, tetapi beribadah karena cinta dan rindu kepada Allah SWT. (*)
HM Cholil Nafis Lc PhD
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU