Plengkung Bersejarah Kota Magelang

Plengkung itu juga mengalami renovasi, namun sayang renovasi yang dilakukan menghilangkan komposisi bangunan lama

Penulis: had | Editor: Iwan Al Khasni
zoom-inlihat foto Plengkung Bersejarah Kota Magelang
TRIBUNJOGJA.COM/M NUR HUDA
Plengkung di Jalan Piere Tendean
TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - Sejak zaman pemerintahan Belanda, Kota Magelang telah diproyeksikan menjadi kawasan permukiman yang nyaman. Sebagai pendukung, dibangunlah sarana penunjang berupa saluran air kota (Boog Kotta Leiding). Saluran tersebut berhulu dari Kali Manggis, Kampung Pucangsari, Kelurahan Kedungsari, Kecamatan Magelang Utara, dan berhilir di Kampung Jagoan Kelurahan Jurangombo, Kecamatan Magelang Selatan, Kota Magelang.

Selain dibangun untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, saluran tersebut juga digunakan untuk membersihkan limbah rumah tangga yang diperoleh dari pemukiman warga. Saluran yang memanfaatkan energi gravitasi ini, oleh pemerintah kolonial dipasang pipa air dengan panjang sekitar 6,5 kilometer dari kali manggis dan berakhir di Kampung Jagoan.

Pipa tersebut dibuat melayang dan diletakkan di atas gundukan tanah yang memanjang hingga menyerupai sebuah benteng yang berada di tengah kota. Namun tidak ada sumber yang menyebutkan asal tanah, pekerja dan biaya yang diperlukan untuk membuat gundukan tersebut.

Saluran itu memanjang dan membelah kota atau sering disebut dengan Fly River atau Aqua Duct. Untuk saluran yang memotong jalan raya, pemerintah Belanda membangun sebuah bangunan menyerupai benteng (dikenal masyarakat dengan sebutan Plengkung).

Sedikitnya, terdapat tiga plengkung antaralain Plengkung di Jalan Piere Tendean (tahun 1883), Jalan Daha/Tengkon (tahun 1893) dan di Jalan Ade Irma Suryani (tahun 1920). Masing-masing plengkung, rata-rata berukuran tingi dan lebar tujuh meter. Plengkung tersebut masuk sebagai benda cagar budaya yang keberadaannya perlu dilestarikan.

"Plengkung yang pertama di bangun adalah di Jalan Piere Tendean, dan terakhir di Jalan Ade Irma yang dikenal dengan sebutan plengkung baru. Berbeda dengan bangunan serupa seperti di Yogyakarta yang berfungsi sebagai benteng. Plengkung yang ada di Kota Magelang berguna untuk tempat saluran air dan membuka akses jalan," kata Ketua Komunitas Kota Toea Magelang, Bagus Priyana, Selasa (8/5/2012).

Untuk plengkung di Jalan Piere Tendean, katanya, dibangun dengan fungsi membuka akses jalan seiring dibangunnya komplek militer di Taman Badaan (Nievws Officer Kampement) dan tangsi militer (Militair Kompement) di Rindam IV Diponegoro.

Namun pada era perang kemerdekaan, Plengkung ini juga dimanfaatkan oleh para pejuang sebagai benteng perjuangan. Mereka kerap naik ke atas plengkung dan berkonfrontasi senjata dengan pemerintah kolonial Belanda.

“Jadi saat perang para pejuang naik ke plengkung, kemudian dari dalam air itu mereka bertahan dan melakukan perlawanan,” ungkap Bagus.

Namun, Bagus sangat menyayangkan langkah pemerintah yang melakukan renovasi pada tahun 2008. Dua dari tiga plengkung ini, yakni di Jalan Piere Tendean, dinding yang terbuat dari tatanan batu kali ini ditutup dengan semen dan dilapisi dengan batu taman.

Sedang Plengkung yang berada di Jalan Daha, yang pada saat dibangun terdiri dari satu pintu utama dan dua pintu pendukung di samping kanan dan kirinya. Pada masa Jepang masuk ke Indonesia, dua pintu pendukung tersebut ditutup dengan tanah. Baru pada sekitar tahun 1999 penutup tersebut dihilangkan sehingga kembali seperti aslinya.

Namun sangat disayangkan seiring dibangunnya perumahan di sekitar Plengkung tersebut pada tahun 2008, Plengkung itu juga mengalami renovasi, namun sayang renovasi yang dilakukan menghilangkan komposisi bangunan lama. "Itu sangat disayangkan, perombakan mengesampingkan nilai sejarah. Harusnya itu tidak boleh, wong itu masuk benda cagar budaya," kata Freddi yang juga salah satu pemerhati kota tua.

Saat ini, hanya tersisa Plengkung yang ada di Jalan Ade Irma Suryani, namun kondisinya dinilai pun sudah cukup memprihatinkan. Pada beberapa sisinya, banyak ditumbuhi lumut akibat rembesan air. Tentunya, apabila kondisi ini dibiarkan, bangunan akan mudah keropos dan rusak.

Menurut Bagus, semuanya tergantung komitmen pemerintah kota dan masyarakat sekitar untuk tetap menjaga kelestarian benda cagar budaya, yang merupakan salah satu aset yang ada di Kota Magelang dengan slogannya sebagai kota jasa dan kota budaya. (TRIBUNJOGJA.COM)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved