Bom Kerak Roti, Bukti Nyata di Selatan (1)

Kepercayaan ini pula yang membuat bahaya besar letusan gunung kerap diabaikan, sementara ancamannya begitu nyata.

Editor: Setya Krisna Sumargo
Laporan Wartawan Tribun Jogja, Hanan Wiyoko, Iwan Al Khasni  

MERAPI adalah Jawa, dan Jawa adalah Merapi. Ungkapan ini rasanya tidak berlebihan mengingat kosmologi dan kuatnya perasan yang menghubungkan orang Jawa dan lingkungan gunung api (vulkanik). 

Desa di lereng gunung merupakan tempat tinggal mereka sejak lahir dan tumbuh berkembang juga merupakan tempat tinggal orang-orang dari nenek moyang mereka. Orang-orang ini relatif tidak suka berpindah karena itu perasaan yang sangat melekat pada desa kelahiran mereka 

Ini yang sejak bertahun-tahun hidup, tumbuh, dan mengilhami masyarakat kuno Jawa dan kerap disebut local wisdom sebagai kata ganti ilmu titen. Kepercayaan ini pula yang membuat bahaya besar letusan gunung kerap diabaikan, sementara ancamannya begitu nyata. 

Namun pada tahun 928 Saka (1006 Masehi) ada kejadian dramatis yang kelak akan mengubah perjalanan sejarah Mataram Kuno. Ada tragedi besar, atau mahapralaya, yang mendorong Mpu Sendok memindahkan pusat kekuasaannya dari lereng Merapi ke Kediri.

Banyak geolog dan ahli sejarah mempercayai pralaya itu terkait aktivitas vulkanik, termasuk Laberton (1922) dan van Bemellen (1949). Keduanya meyakini ada letusan besar 1006 yang mengubah segala-galanya di sektor barat. 

Erupsi disebabkan gerakan tektonik di sesar bumi yang jadi tumpuan Merapi. Gerakan itu dikuti longsoran kubah di puncak, disusul letusan hebat yang mengubah secara dramatis bentang alam di sekitar Muntilan dan Magelang. Ahli sejarah Boechari (1976) menepis asumsi Labberton dan Bemellen ini. 

Kata kuncinya, Mpu Sendok telah memerintah di Kediri pada tahun 1006. Artinya, Mpu Sendok "bedol kerajaan" bukan karena pralaya besar erupsi Merapi. Penelitian stratigrafi SD Andreastuti pada tahun 1999 juga mengukuhkan pendapat Boechari. 

Mahapralaya erupsi Merapi yang mengubur kerajaan Mataram Kuno tidak pernah ada. Juga tidak ada bukti sahih mengenai letusan raksasa pada tahun 1006. Yang ada adalah letusan plinian ke utara yang menghasilkan tefra Selo pada sekitar tahun 1112 M. 

Erupsi ini masuk indeks letusan 3-4 dengan tinggi kolom vertikal mencapai 10 kilometer. Penelitian stratigrafi menunjukkan bukti adanya perulangan lapisan jatuhan piroklastika di wilayah Plalangan, Selo, Boyolali.

Di wilayah lereng selatan, juga lama berkembang kepercayaan di sebagian masyarakat, produk letusan Merapi tidak akan pernah mengarah ke wilayah padat hunian itu. Warga Turgo dan sebagian Kaliurang yakin bukit Turgo dan Plawangan jadi benteng kuat bagi mereka. 

Begitu pula bukit Kendil di utara Kalitengah Lor, yang jadi tameng alamiah luncuran awan piroklastika. Mitos bergenerasi itu akhirnya rontok begitu terjadi letusan 2010 yang mencengangkan.(Tribunjogja.com)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved