Jejak Kopi, Menyeruput Sastra Mengaduk Rindu
Di tengah kampung Prenggan Selatan, Kotagede, dosen sastra tersebut tampil. Ia membawakan puisi di hadapan komunitas sastra dan juga para muridnya.
Penulis: app | Editor: Ari Nugroho
Laporan Reporter Tribun Jogja, Panji Purnandaru
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Abdul Wachid BS menunduk, penyair tersebut dengan seksama mencermati buku digengamannya.
Perlahan suara rendahnya yang maskulin terdengar.
Hadirin menyambut dengan hening, menyelami tiap penggal kata dan bait sajak yang terlontar.
Di tengah kampung Prenggan Selatan, Kotagede, dosen sastra tersebut tampil istimewa. Ia membawakan puisi di hadapan komunitas sastra dan juga para muridnya.
"Abdul Wachid BS ini embrio dari lahirnya Jejak Imaji," ujar Iqbal H Saputra, pencetus komunitas pecinta sastra Jejak Imaji, saat acara launching Warung Edukasi Jejak Kopi, Minggu (10/9/2017) malam.
Jejak Imaji berekspansi, komunitas tersebut kini tidak hanya ngalor ngidul ngobrol sastra di tiap Senin.
Melalui Warung Edukasi Jejak Kopi, komunitas tersebut berusaha untuk berdikari, berkarya, sembari tetap memegang teguh ideologi.
"Sastra bukan untuk kehidupan. Istrimu datang bulan, kamu tidak bisa kasih puisi sebagai penganti pembalut," ungkapnya.
Selain kemandirian dalam penghidupan, melalui medium kopi Jejak Imaji ingin menyebarkan manfaat.
Mengadakan workshop, bimbingan belajar, kegiatan musik, teater dan seni tiap bulannya bersama komunitas lain dan masyarakat luas menjadi tujuan.
Sementara itu, Hendrik Efriyadi yang ditunjuk sebagai pengelola warung menjelaskan, Jejak Kopi merupakan jawaban atas keresahan teman-teman selama ini.
Dengan berdikari, komunitas tidak akan menggantungkan kegiatan dari pihak lain.
"Jika tidak memiliki jaringan usaha, maka akan ketergantungan pada pihak lain dan itu tidak sehat," ujarnya
"Kita butuh bedikari, kita nggak mau kegiatan minta-minta. Tapi konsep tetap literasi yaitu warung edukasi. Tidak hanya menyediakan makanan minuman tapi ruang belajar bersama," paparnya.
