Dijadikan Alat Politik Kekuasaan, Dosen UMY Desak Reformasi Polri

Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Isnaini Mualidin, S.IP., M.P.A., mendesak Reformasi Polri. 

dok.istimewa
Logo Polri 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Isnaini Mualidin, S.IP., M.P.A., mendesak Reformasi Polri

Hal itu karena adanya praktik pemanfaatan Polri sebagai alat kepentingan politik kekuasaan. Dampaknya kepercayaan publik terhadap institusi tersebut menurun. 

"Polri dijadikan alat kepentingan politik kekuasaan. Ini yang menimbulkan kecemasan besar di masyarakat,” katanya, Selasa (18/11/2025). 

Ia menjelaskan penyimpangan di tubuh Polri tidak muncul begitu saja. Ada dua faktor utama yang memengaruhi, yaitu kewenangan lembaga yang terlalu besar dan sistem seleksi elite yang tidak berbasis meritokrasi.

Isnainai menilai sistem seleksi elite di kepolisian lebih ditentukan oleh kekuasaan dan kedekatan politik. Akibatnya, Polri kehilangan arah. 

"Hampir seluruh elite Polri cenderung berorientasi pada kepentingan politik penguasa, bukan pada kepentingan publik. Di periode pemerintahan sebelumnya, Polri kerap digunakan sebagai instrumen untuk meredam oposisi," terangnya. 

Baca juga: Petani Muda Bangkit di Bantul: Fanny Ajak 15 Pemuda Terjun ke Sawah

Oleh karena itu, Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dibentuk Presiden Prabowo memiliki dua tugas besar yang tidak dapat ditunda.

Pertama, melakukan perubahan mendasar terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

Kedua, mereformasi sistem seleksi kepemimpinan agar berorientasi pada integritas, profesionalisme, dan kinerja, bukan kedekatan politik.

“Dua hal itu yang harus dievaluasi secara menyeluruh. Kelembagaan yang kewenangannya terlalu luas dan sistem seleksi kepemimpinan yang masih didominasi kedekatan dan relasi kekuasaan,” lanjutnya. 

Di sisi lain, ada tantangan manuver internal Polri yang telah membentuk task force reformasi kepolisian. 

Ia menilai pembentukan tim internal ini berpotensi menjadi upaya untuk membatasi ruang gerak Komisi Percepatan agar tidak melakukan intervensi mendalam pada sektor-sektor strategis.

“Ini harus diantisipasi agar proses reformasi benar-benar berjalan substantif, bukan sekadar kosmetik,” pungkasnya. (maw) 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved