Gelar Eksaminasi, Akademisi UII Beberkan 5 Alasan Kasus Tom Lembong Kegagalan Penegakan Keadilan
Eksaminator berkesimpulan putusan perkara pidana korupsi Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong kegagalan penegakan keadilan
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Fakultas Hukum Universitas IsIam Indonesia melalui Center for Leadership and Law Development Studies (CLDS) menggelar sidang eksaminasi terhadap putusan perkara pidana korupsi terhadap Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong.
Hasil sidang, eksaminator berkesimpulan bahwa putusan perkara pidana nomor 34/Pid.sus-TPK/2025/PN.JKT.PST tersebut sebagai Miscarriage of Justice atau kegagalan penegakan keadilan.
"Berdasarkan sidang eksaminasi, dapat disimpulkan bahwa terhadap pertimbangan majelis hakim dalam putusan Nomor 34/Pid.SusTPK/2025 pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat disimpulkan bahwa terjadi miscarriage fo justice," kata Tim Eksaminasi CLDS FH UII, Muhammad Arif Setiawan, Sabtu (11/10/2025).
Tim eksaminasi CLDS FH UII terdiri dari para ahli hukum pidana dan administrasi negara yang kompeten.
Selain M. Arif Setiawan, ada Rusli Muhammad, Ridwan, Hanafi Amrani, Wahyu Priyanka Nata Permana, Ari Wibowo, dan Marisa Kurnianingsih.
Adapun sidang eksaminasi dihadiri oleh dosen pengajar hukum pidana, praktisi bantuan hukum baik dari LBH Yogyakarta, LKBH FH UII, UAD, UMY dan UJB, para advokat dari DPC PERADI Yogyakarta, IKADIN Yogyakarta serta mahasiswa pascasarjana program Magister Hukum yang mengambil konsentrasi bidang hukum pidana.
Arif menjelaskan beberapa alasan mengapa putusan tersebut dinilai tidak menciptakan keadilan.
Pertama, seluruh proses peradilan mulai dari penyidikan hingga putusan perkara ini, sebenarnya menggunakan pelanggaran hukum administrasi yang diangkat tindak pidana korupsi yang bertentangan dengan pasal 14 Undang-Undang tindak pidana korupsi.
"Dengan demikian, majelis hakim telah mengabaikan adanya asas lex specialis sistematis," ujarnya.
Kedua, sidang eksaminasi berpandangan bahwa Majelis Hakim dinilai mengabaikan Undang-Undang nomor 1 tentang perubahan atas Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ketika mempertimbangkan kerugian yang dialami PT PPI yang pada dasarnya merupakan badan usaha milik negara.
Sebab berdasarkan Pasal 4B dalam Undang-Undang tersebut, telah terjadi pergeseran makna kerugian BUMN, yang tidak lagi dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara.
Karena itu, kerugian yang dialami PT PPI selaku BUMN sebenarnya bukan merupakan kerugian keuangan negara sehingga unsur kerugian keuangan negara dalam perkara ini jelas tidak terbukti.
Ditambah, terjadi kesalahan di dalam mempertimbangkan perhitungan besaran kerugian atau kejadian-kejadian kerugian akibat adanya perbedaan antara harga pokok penjualan (HPP) di tingkat petani sebagai pedoman untuk pembelian gula di tingkat petani untuk menjaga harga gula supaya petani tidak dirugikan. Hal itu tentu saja berbeda dengan harga yang dilakukan dalam proses bisnis oleh PT PPI.
"Jadi dengan demikian terjadinya kerugian keuangan negara yang dianggap sebagai selisih perhitungan itu adalah sesuatu yang tidak tepat," ujarnya.
Ketiga, Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun Majelis Hakim dalam putusannya dinilai tidak mempertimbangkan mens rea dalam diri terdakwa, dengan alasan sebenarnya tidak ada niat jahat dalam membuat keputusan izin impor tersebut.
Terdakwa tidak mendapatkan keuntungan dari keputusannya yang diambil dan juga tidak ada fakta hukum pernah meminta dari perusahaan swasta maupun dari perusahaan yang diuntungkan dari kebijakan impor gula tersebut.
Keempat, pemenuhan pasal 55 ayat 1 ke -1 KUHP tentang penyertaan di dalam fakta hukum juga tidak terbukti. Sidang eksaminasi menyimpulkan tidak terdapat fakta hukum adanya meeting of mind dan double intention atau niat ganda. Sebab tidak ada fakta hukum bahwa terdakwa pernah bertemu para pelaku dan tidak pula ada kesepemahaman antara pelaku dengan terdakwa untuk mewujudkan delik pasal 2 ayat 1 UU Tipikor.
Kelima, terdapat kesalahan pertimbangan di dalam putusan perkara ini. Karena untuk membuktikan kesalahan dalam bentuk kesengajaan, menurut majelis hakim tidak perlu membuktikan psikis pelaku dengan perbuatan yang pernah dilakukan. Padahal menurut eksaminator mestinya harus dibuktikan.
"Mengingat dalam pandangan memorie van toelichting, syarat adanya kesengajaan ada dua. Yaitu terdakwa mengetahui dan menghendaki, wetens and willens" katanya.
Sebagimana diketahui, dalam perkara ini, Tom Lembong dijatuhi vonis hukuman 4,5 tahun penjara denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti korupsi dengan kerugian negara Rp 194,72 miliar. Namun pada akhir Juli 2025, Presiden Prabowo Subianto mengajukan surat permohonan pemberian abolisi kepada Thomas Lembong melalui Surat Presiden Nomor R42/Pres/07/2025.
Surat tersebut memuat usulan pemberian amnesti dan abolisi kepada sejumlah terpidana dan tersangka, termasuk Thomas Lembong, yang saat itu sedang menjalani proses hukum. Abolisi yang diberikan Kepala Negara kepada Mantan Menteri Perdagangan itu berarti penghentian proses hukum pidana yang sedang berjalan terhadap dirinya.
Terkait dengan pemberian abolisi dalam kasus ini, Arif menjawab seharusnya perkara ini sudah dihentikan proses hukumnya. Meskipun terdakwa sempat mengajukan banding, namun dengan adanya abolisi dianggap sudah selesai dan dianggap tidak pernah ada perkara ini.
"Dengan adanya abolisi itu ya sudah selesai. Sudah selesai bahwa perkara ini seperti dianggap belum ada prosesnya. Karena prosesnya dianggap selesai. Sehingga tidak perlu ada upaya hukum lagi. Dianggap tidak pernah ada perkara," ujar dia.(*)
Diduga Menjual Sebagian Tanah Kas Desa, Lurah Tegaltirto Berbah Sleman Ditahan Kejati DIY |
![]() |
---|
Apa Kata Dosen Hukum UGM Soal Pemberian Amnesti dan Abolisi Terdakwa Korupsi |
![]() |
---|
Di Balik Keputusan Presiden Prabowo Beri Amnesti untuk Hasto dan Abolisi untuk Tom Lembong |
![]() |
---|
Polemik Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong, Akademisi Soroti Independensi Hukum |
![]() |
---|
Tom Lembong Dikabarkan Bakal Hirup Udara Bebas Siang Ini, Keppres Abolisi Segera Diterbitkan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.