Guru Besar FEB UGM Sebut Indonesia Kurang Inovasi Ekonomi: Dikit-dikit Pinjam, Kurang Dikit Pinjam

Ia menyebut ada dua wujud ketergantungan pada dunia luar, yaitu hutang dan impor. Saat ini, Indonesia memilih berhutang

Intisari
ilustrasi ekonomi Indonesia 

Laporan Reporter Tribun Jogja Christi Mahatma Wardhani

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Prof. Indra Bastian, Ph.D., MBA., CA., CMA., menekankan pentingnya entrepreneurship in macroeconomic dalam sebuah negara.

Dalam konteks tersebut, inovasi menjadi bagian penting dalam entrepreneurship in macroeconomic atau ekonomi kewirausahaan. 

Menurut dia, Indonesia kurang inovatif dalam mengambil kebijakan ekonomi.

Ia mengambil contoh Rusia yang kuat di tengah ketidakpastian global. Rusia memperkuat perhitungan rubel hingga pengaturan ekonomi industri.

“Sehingga dia (Rusia) bisa bertahan. Pemimpinnya bisa ambil keputusan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi, tidak tergantung dengan visa dan mastercard, bisa dikatakan begitu. Itu bisa terjadi karena ada inovasi. Inovasi di kita (Indonesia) kurang,” katanya, Rabu (10/09/2025).

Koreksi yang terjadi pada pengambilan kebijakan yang lemah berbanding lurus dengan inovasi. Yang terjadi berikutnya adalah Indonesia lebih dari 40 tahun bergantung pada lembaga-lembaga dunia. 

Ia menyebut ada dua wujud ketergantungan pada dunia luar, yaitu hutang dan impor. Saat ini, Indonesia memilih berhutang untuk mengatasi kekurangan anggaran, sehingga utang gemuk dan bunga semakin tinggi. 

Selain hutang, impor Indonesia juga tinggi. Dampaknya adalah deindustrialisasi. Industri dalam negeri tidak bangkit. 

“Dikit-dikit pinjam, kurang dikit pinjam, kita menjadi berhutang karena membutuhkan hutang, bukan mengelola hutang. Kemudian impor kita tinggi. Kita (pemerintah) nggak percaya di dalam (negeri) bisa memenuhi beras. Tapi begitu beras ada, kita udah terlanjur kontrak di luar. Begirtu beras (impor) masuk, harga beras kita rusak,” terangnya.

“Karena kita tidak innovative economic, ada kesalahan paradigma, pendidikan, kesehatan, dan pangan menjadi commercial goods, padahal seharusnya public goods. Sudah saatnya pemerintah menganggap pendidikan dan kesehatan itu sebuah Investment,” sambungnya.

Ia menilai pemerintah sudah berupaya berinovasi, salah satunya dengan Danantara dengan untuk APBN baru yang didanai dividen BUMN. Hasil Danantara mestinya bisa memperkuat ekspor. Sehingga Indonesia bergeser dari impor oriented menjadi ekspor oriented.

Saat ini pemerintah sibuk menggembar-gemborkan investasi asing dan mempersilahkan investasi di Indonesia. Padahal ketika ekspor Indonesia kuat, maka investasi ke Indonesia akan lebih mudah.

Inovasi lainnya adalah dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ia memandang program ini dapat menghidupkan ekonomi masyarakat bawah. Sebab dana yang dikucurkan setiap hari digunakan untuk membeli sayuran, daging, dan lain-lain. Jika program ini berhasil, otomatis perekonomian tumbuh dan harapannya bisa menekan gini rasio yang menyebabkan masalah sosial.

Setiap program yang digulirkan pasti memiliki sisi positif dan negatif. Sehingga yang diperlukan adalah kontrol yang serius untuk memastikan program, anggaran, hingga pelaksanaan berjalan sesuai tata kala yang jelas.  

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved