Berita Magelang
Pernikahan Sakral Sapta Darma di Magelang, Pengantin Sujud di Atas Mori Putih
berita pernikahan pernikahan dengan tata cara penghayat Kerohanian Sapta Darma di Dusun Maron, Desa Temanggung, Kaliangkrik,Magelang
Penulis: Yuwantoro Winduajie | Editor: Iwan Al Khasni
Melihat Pernikahan Sapta Darma di Lereng Gunung Sumbing
Magelang Tribunjogja.com -- Suasana hening menyelimuti sebuah rumah sederhana di Dusun Maron, Desa Temanggung, Kecamatan Kaliangkrik, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (1/10/2025).
Di ruangan utama rumah itu, sepasang pengantin, Eko Ristiyanto (23) dan Sendi Listiana (18), duduk berdampingan di atas selembar kain mori putih berukuran sekitar 1x2 meter untuk melangsungkan pernikahan dengan tata cara penghayat Kerohanian Sapta Darma.
Keduanya tampak duduk bersila di barisan paling depan.
Di belakang mempelai, duduk sanak keluarga dan para penghayat Sapta Darma lain yang ikut menundukkan kepala dalam hening.
Mereka pun duduk di atas kain mori berbentuk persegi, dengan ujung kerucut kain yang diarahkan ke depan.
Semua mata terpejam, tak ada suara terdengar selain desiran angin lembut yang turun dari lereng Gunung Sumbing.
Dengan busana adat Jawa, Eko dan Sendi mulai menundukkan kepala, lalu bersujud sebanyak empat kali. Prosesi ini diikuti semua orang di ruangan itu.
Sujud itu bukan sekadar gerakan fisik semata, melainkan sujud rohani.
Tanda menyerahkan nur, cahaya jiwa, kepada Yang Maha Kuasa. Prosesi yang menjadi inti pernikahan dalam ajaran Kerohanian Sapta Darma.
“Pernikahan di Sapta Darma itu perkawinan nur. Karena dua jiwa dipersatukan, maka sujudnya bersama di atas satu kain mori. Itu simbol manunggalnya rohani Mas Eko dan Mbak Sendi, disaksikan oleh Yang Maha Kuasa,” tutur Suharto, Tuntunan Kerohanian Sapta Darma Kabupaten Magelang, yang memimpin jalannya prosesi.
• Cerita Sekolah Katolik di Muntilan Magelang Gelar Lomba Adzan hingga Kaligrafi
Setelah sujud, Eko dan Sendi mengucapkan janji prasetya.
Sebuah komitmen untuk menjalani ajaran Sapta Darma sekaligus berikrar menempuh bahtera rumah tangga bersama.
Prosesi ditutup dengan wejangan, doa dari pemuka penghayat, hingga pelipatan kain mori.
Bagi pasangan muda ini, momen sakral itu adalah kebahagiaan yang sulit diungkapkan.
“Ya Senang. Memang aturannya di Sapta Darma seperti itu. Semoga semua orang juga tahu kalau menikah secara Sapta Darma itu enak, mudah, dan sakral,” ujar Eko.
Keduanya pertama kali berkenalan dalam kegiatan diklat remaja Sapta Darma di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Dari pertemuan itu, benih cinta perlahan tumbuh hingga berlanjut ke pelaminan. Tata cara pernikahan pun dijalani sesuai dengan keyakinan yang telah mereka anut sejak kecil.
Penghayat Kepercayaan
Diketahui, aturan terbaru memungkinkan penghayat kepercayaan mencantumkan "Kepercayaan Terhadap Tuhan YME" pada kolom agama KTP, menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 97/PUU-XIV/2016 tahun 2017.
Sejak saat itu, pernikahan sesama penghayat dapat dilaksanakan secara resmi dan diakui negara.
Eko pun mengaku tidak menemui kesulitan dalam proses administrasi pernikahannya.
"Nggak ada kendala. Kalau sekarang (kolom agama di KTP) sudah semua kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kalau saya sudah lama diubah," ujarnya.
Suharto mengatakan, tidak ada pendidikan pra nikah secara khusus dalam Sapta Darma.
Namun, para penghayat meyakini bahwa ajaran menata kehidupan sudah selalu disampaikan dalam setiap pertemuan. Intinya bukan pada seremonial bimbingan, melainkan pada praktik hidup sehari-hari.
“Di Sapta Darma itu kan yang terpenting adalah menata kehidupan sampai nanti ke alam kelanggengan. Semua sudah tertuang dalam wewarah pitu yang menjadi pegangan warga Sapta Darma,” ujarnya.
Wewarah pitu itulah yang dianggap sebagai fondasi bagi penganut Sapta Darma.
Selama berjalan sesuai dengan ajaran itu, para penghayat percaya hidup akan selaras: aman dengan negara, harmonis dengan masyarakat, damai dengan diri sendiri, hingga akhirnya menyatu dengan Sang Pencipta.
"Karena semua tertuju pada manunggaling kawula Gusti," katanya.
Pertama di Magelang
Menurut Suharto, prosesi tersebut menjadi salah satu pernikahan Sapta Darma pertama di Kabupaten Magelang setelah terbitnya aturan administrasi kependudukan yang mengakui penghayat kepercayaan.
Ia menjelaskan bahwa kini pernikahan bisa dicatatkan ke Disdukcapil dengan menggunakan surat pengantar dari Persatuan Warga Sapta Darma (Persada).
“Jadi yang generasi mudanya mau menikah secara Sapta Darma baru ini, karena kadangkala kan ada perkawinan, tetapi yang satu masih memeluk agama lain. Ini kan proses tersendiri,” ujarnya.
Di Magelang, jumlah warga Sapta Darma mencapai sekitar 350 orang.
Dusun Maron sendiri menjadi salah satu pusat komunitas terbesar, bahkan kerap berjejaring dengan penghayat dari Kabupaten Temanggung. (Tribunjogja.com/Yuwantoro Winduajie)
Cerita Sekolah Katolik di Muntilan Magelang Gelar Lomba Adzan hingga Kaligrafi |
![]() |
---|
Gelar Budaya Desa Banjarnegoro Magelang Jadi Ajang Lestarikan Warisan Leluhur |
![]() |
---|
Borobudur Night Carnival 2025 Hidupkan Wisata Malam di Magelang |
![]() |
---|
Pemkab Magelang Persiapkan Aplikasi Aduan Digital MAS GRESS |
![]() |
---|
Proyek Penampungan Air di Magelang Tak Pernah Dipakai Sejak Dibangun Pak Kades |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.