Reaksi Maxride setelah Terbitnya SE Larangan Bajaj Berbasis Aplikasi di Yogyakarta

Maxride mengklaim mendapat respons positif dari netizen dan banyak yang kontra atas terbitnya SE larangan bajaj berbasis aplikasi

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
PT Max Auto Indonesia, memberikan penjelasan terkait polemik larangan operasional bajaj daring dalam Media Gathering Maxride di Yogyakarta, Rabu (19/11/2025). 
Ringkasan Berita:
  • Maxride menuntut penerapan regulasi yang adil dan tidak diskriminatif soal aturan larangan bajaj berbasis aplikasi di Yogyakarta
  • Reaksi Maxride tersebut muncul setelah keluarnya SE Wali Kota Yogyakarta soal larangan bajaj berbasis aplikasi di Jogja.

 

TRIBUNJOGJA.COM - Polemik larangan bajaj berbasis aplikasi di Yogyakarta kembali mencuat setelah keluarnya SE Wali Kota. Terbitnya SE Wali Kota tersebut mendorong PT Max Auto Indonesia menuntut penerapan regulasi yang adil dan tidak diskriminatif terhadap moda transportasi roda tiga.

Terbitnya SE tersebut disebut menimbulkan kebingungan di lapangan, terutama karena selama ini bajaj Maxride telah beroperasi sebagai layanan transportasi berbasis aplikasi yang memanfaatkan kendaraan roda tiga milik pribadi.

Perusahaan menegaskan komitmennya untuk mematuhi seluruh aturan pemerintah daerah sepanjang diterapkan secara setara.

Regional Manager Central Java PT Max Auto Indonesia, Bayu Subolah, mengatakan pihaknya justru menerima banyak dukungan masyarakat sejak wacana pembatasan muncul.

Menurut dia, respons publik menunjukkan bahwa keberadaan bajaj daring telah diterima sebagai moda mobilitas harian.

“Kami mendapat respons positif dari netizen yang mendukung keberadaan kami. Banyak yang kontra atas terbitnya SE tersebut,” ujar Bayu, Rabu (19/11/2025). 

“Maxride hadir sebagai alternatif transportasi yang terjangkau sekaligus nyaman. Konsumen merasa aman ketika menggunakan bajaj untuk mobilitas harian. Selain itu, Maxride membuka ruang investasi bagi masyarakat. Balik modal maksimal dua tahun. Pengguna bajaj bisa menembus kemacetan dan pengemudinya mendapatkan lapangan kerja.”

Klaim dokumen lengkap

Bayu menegaskan seluruh unit yang beroperasi merupakan kendaraan legal dengan dokumen lengkap. Ia menjelaskan bahwa bajaj Maxride adalah kendaraan pribadi milik pengemudi atau pemilik unit (juragan) yang beroperasi menggunakan izin dan payung hukum yang sama seperti transportasi daring lain.

“Kendaraan kami plat hitam dengan surat-surat lengkap karena milik pribadi. Kami punya PSE, taat pajak, dan berpegang pada PM 12 tentang keselamatan ojek online. Kami bukan transportasi umum, melainkan kendaraan pribadi milik juragan atau driver,” katanya.

Government Relations PT Max Auto Indonesia, Budi Dirgantoro, menilai kesan bahwa bajaj daring ilegal kerap muncul karena bentuk fisiknya yang dianggap mirip angkutan umum.

Padahal, perusahaan menegaskan operasionalnya telah diatur oleh regulasi nasional yang berlaku bagi semua kendaraan daring plat hitam.

“Ini hanya asumsi karena bentuknya,” ujar Budi. 

“Sejak 2017, Permenhub 108, 118, 117, hingga 12 sudah mengatur bahwa kendaraan plat hitam boleh mengangkut penumpang. Kami menggunakan izin dan fasilitas yang sama seperti transportasi online lainnya.”

Budi menambahkan, Maxride siap mengikuti aturan apa pun yang ditetapkan pemerintah daerah, sepanjang kebijakan tersebut tidak hanya menyasar bajaj tetapi seluruh layanan transportasi daring.

“Kalau nanti Jogja punya aturan khusus transportasi online, kami ikut. Tapi kami minta keadilan, karena kami pakai aturan negara yang sama dengan yang lain. Kalau ada peraturan daerah, kami patuhi. Yang penting semua diatur secara setara. Pengemudi kami ada yang dulunya bentor, berubah karena lebih aman dan nyaman, juga ada ojol yang merasa lebih menghasilkan dengan bajaj,” ucapnya.

Ada 300 unit bajaj

Saat ini, sekitar 300 unit bajaj Maxride beroperasi di Yogyakarta. Unit tersebut dimiliki oleh 23 juragan, sementara 30 pengemudi lainnya membeli unit secara mandiri. Budi menyebut Dishub DIY telah meminta klarifikasi legalitas dan perusahaan sudah menyerahkan seluruh dokumen yang diminta.

“Pemerintah merujuk Permenhub 117 tentang area operasi kendaraan. Namun dari aspek keselamatan, bajaj lebih aman dibanding motor maupun bentor. Kami membuka ruang komunikasi dengan pemerintah,” kata Budi.

Government Relation PT Max Auto Indonesia lainnya, Iwan Cristianto, mengatakan SE Wali Kota Yogyakarta merupakan tindak lanjut dari SE Gubernur DIY terkait penataan transportasi berbasis kearifan lokal. Menurut Iwan, berbagai moda seperti bentor juga telah lama diwacanakan ditertibkan, tetapi selalu menghadapi tantangan sosial.

“Kami siap duduk bersama Pemkot untuk membangun sistem transportasi yang lebih tertata,” kata Iwan. 

“Kami sudah duduk satu meja dan tidak ada kata-kata ‘tidak boleh’. Bajaj diperbolehkan, namun ke depan akan ditertibkan agar lebih rapi. Kami bahkan sudah membentuk koperasi untuk memudahkan komunikasi dengan pemerintah.”

Solidaritas Pengemudi dan Dampak Ekonomi
Di luar isu regulasi, Maxride menyoroti kuatnya solidaritas pengemudi di Yogyakarta. Perusahaan menyebut pendapatan rata-rata pengemudi mencapai Rp 865.000 per pekan, yang dinilai membantu roda ekonomi masyarakat kecil.

Sejumlah komunitas pengemudi berkembang, antara lain BAJURI (Bajaj Jogja untuk Rakyat Indonesia), Bajaj Njero Benteng (BNB), Bajaj Berkah Jogja (BBJ), Bajaj Team Sleman (BATMAN), dan Aliansi Driver Juragan (ADJ). Komunitas-komunitas tersebut aktif berkegiatan, saling mendukung, serta menjadi wadah komunikasi antara pengemudi dan pemilik unit.

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved