Wanita Muda Tewas di Gamping

Guru Besar UGM Sebut Ada Eskalasi Emosi pada Pelaku Pembunuhan di Gamping, Tidak Ada Kelainan

Melihat eskalasi emosi pelaku, ia menyebut pembunuhan yang dilakukan tidak terencana. Ia menilai tidak ada kelainan psikologis

Tribun Jogja / Ahmad Syarifudin
PELAKU: Aparat Kepolisian menghadirkan pelaku pembunuh janda muda di Gamping, Kabupaten Sleman saat konferensi pers di Mapolresta Sleman Kamis (6/11/2025) 
Ringkasan Berita:
  • Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Prof.Drs. Koentjoro Soeparno, MBSc., Ph.D, menyebut ada eskalasi emosi yang memuncak saat pelaku melakukan pembunuhan.
  • Korban adalah kekasihnya. Pelaku sangat mencintai namun penolakan korban membuat pelaku sangat kecewa.
  • Melihat eskalasi emosi pelaku, ia menyebut pembunuhan tidak terencana, tidak ada kelainan psikologis.
  • Selain pelaku, anak korban juga harus mendapat pendampingan psikologis karena kehilangan ibu tunggal.

 

Laporan Reporter Tribun Jogja Christi Mahatma Wardhani

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Polresta Sleman berhasil meringkus pelaku pembunuhan di Mejing Wetan, Ambarketawang, Gamping, Sleman. Pelakunya ialah LBW (54) yang tak lain adalah kekasih korban.

Tersangka sakit hati karena cintanya ditolak, dan korban enggan melanjutkan hubungan yang sudah berjalan sekitar 3-4 bulanan.

Menurut Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof.Drs. Koentjoro Soeparno, MBSc., Ph.D, ada eskalasi emosi yang memuncak saat pelaku melakukan pembunuhan.

Hal itu terlihat dari darah yang mencuat dari leher korban, sekaligus menunjukkan korban masih hidup saat dibunuh.

Kecewa

Ia menilai pelaku sangat mencintai dan sangat berharap bisa melanjutkan hubungan dengan korban. Penolakan korban membuat pelaku sangat kecewa.

“Barangkali korban menggunakan konsep jinak-jinak merpati, sehingga pelaku merasa punya harapan (melanjutkan hubungan). Tetapi ketika ditolak, marah lah dia (pelaku). Korban ini kan ibu anak satu, sehingga pelaku mungkin jadi semakin berharap. Tetapi ketika ditolak, pelaku ini jadi kalap,” katanya, Kamis (06/11/2025).

“Saya melihat nuansa kalapnya itu besar. Ada eskalasi kemarahan, mungkin di rumahnya ada sesuatu, jadi ini eskalasi emosi yang membuat seseorang jadi kalap. Jelas tidak bisa meregulasi emosi, karena (emosi) selalu numpuk-numpuk, meningkat,” sambungnya.

Tidak terencana

Melihat eskalasi emosi pelaku, ia menyebut pembunuhan yang dilakukan tidak terencana. Pembunuhannya pun terbilang sadis. Kendati demikian, ia menilai tidak ada kelainan psikologis.

“Meski tidak terencana, tapi sadis. Enggak (tidak ada kelainan), karena emosi yang tadi, barangkali merasa amat kecewa,” lanjutnya.

Di sisi lain, ia merasa pelaku memiliki rasa bersalah. Pasalnya setelah membunuh korban, pelaku ke makam orang tuanya dan minum obat serangga untuk mengakhiri hidup.

Butuh pendampingan

Meski berstatus tersangka dan akan mendapat hukuman, pelaku tetap membutuhkan pendampingan psikologis. Hal itu karena pelaku membunuh orang yang dicintai.

Tak hanya pelaku, anak korban juga harus mendapatkan pendampingan psikologis. Perlu juga ditinjau sejauh mana anak korban mengetahui peristiwa nahas yang menimpa ibunya.

“Anak korban juga perlu mendapatkan pendampingan. Karena merasa ibunya tidak ada, dan selama ini hanya hidup dengan ibunya (ibu tunggal). Jadi harus tetap mendapatkan pendampingan,” pungkasnya. (maw)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved