Menembus Batas Lewat Warna: Cerita Seniman Difabel di 'Together Beyond Limits'
Dalam pameran Together Beyond Limit, mereka membuktikan bahwa keterbatasan hanyalah perspektif, bukan penghalang untuk berkarya.
Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
Ringkasan Berita:
- Lebih dari 20 seniman difabel menampilkan karya mereka dalam pameran Together Beyond Limit, menjadi bukti bahwa keterbatasan hanyalah bukan penghalang untuk berkarya.
- Nama-nama seniman difabel yang tercatat antara lain Albert Barret Purba, Alfian Rahmadani, Anfield Wibowo, Edi Priyanto, Hilmy Ahmad Al Quds, hingga Yaya Maria dan Zakka Nurul Giffani Hadi.
- Hadir pula tiga peserta dari SLB Wiyata Dharma 1 Sleman: Rudi Wahudin, Muhammad Ulin Nuha, dan Nadia Nia Permatasari.
TRIBUNJOGJA.COM - Setiap goresan kuas di kanvas Yuni Darlena adalah langkah kecil menuju kebebasan. Begitu pula dengan karya-karya Winda Karunadhita dan Bagaskara Maharastu Pradigdya Irawan, yang menjadikan warna sebagai bahasa hati.
Dalam pameran “Together Beyond Limit”, mereka membuktikan bahwa keterbatasan hanyalah perspektif—bukan penghalang untuk berkarya.
Pameran yang digelar di Kala Jumpa Bar & Dine, lantai satu Aveta Hotel Malioboro, resmi dibuka pada Sabtu (1/11/2025) dan akan berlangsung hingga 30 November mendatang.
Acara pembukaan dimulai pukul 17.00, diiringi penampilan musik Gandana Music serta kolaborasi dengan siswa SLB Wiyata Dharma 1 Sleman.
Suasana hangat menyelimuti ruangan, dipandu oleh pembawa acara Bagas dan Sekar PW.
Dalam ruang pamer, lebih dari dua puluh seniman difabel menampilkan karya mereka. Dari nama-nama yang tercatat tampak Albert Barret Purba, Alfian Rahmadani, Anfield Wibowo, Edi Priyanto, Hilmy Ahmad Al Quds, hingga Yaya Maria dan Zakka Nurul Giffani Hadi.
Bersama mereka, hadir pula tiga peserta dari SLB Wiyata Dharma 1 Sleman: Rudi Wahudin, Muhammad Ulin Nuha, dan Nadia Nia Permatasari.
Cara menenangkan batin
Karya-karya yang dipamerkan beragam—dari lanskap alam hingga refleksi kehidupan sehari-hari. Setiap lukisan menyimpan kisah personal tentang perjuangan, penerimaan diri, dan cara melihat dunia dari balik keterbatasan fisik.
Bagi Yuni Darlena, penyandang disabilitas daksa, melukis adalah cara untuk menenangkan batin. Dalam karyanya “Nyanyian Air di Telaga” (akrilik di atas kanvas, 70 x 80 cm, 2025), Yuni menuangkan kerinduan akan ketenangan alam.
Karya lain, “Gemulai Ombak Merengkuh Karang”, masih bernafas serupa—memuliakan alam sebagai sumber keteduhan dan keseimbangan jiwa.
Berbeda dengan Yuni, Bagaskara Maharastu Pradigdya Irawan, seniman tuli, menangkap dinamika Yogyakarta melalui sudut pandang urban.
Dalam lukisan “Hotel Tugu Yogyakarta” (akrilik di atas kanvas, 29,7 x 42 cm, 2025), ia memotret kehidupan di sekitar bangunan bersejarah itu dengan warna-warna berani dan komposisi padat.
Dalam deskripsi karyanya, Bagaskara menulis:
“Lukisan ini menggambarkan suasana depan Hotel Tugu Yogyakarta, salah satu bangunan ikonik dan bersejarah di jantung kota. Dengan gaya ekspresif dan sapuan warna yang berani, karya ini menangkap dinamika kehidupan kota Yogyakarta yang hangat dan penuh warna. Kehadiran kabel listrik dan lampu jalan menambahkan kesan urban yang kontras namun harmonis dengan nuansa budaya lokal. Melalui komposisi yang padat dan penuh detail, lukisan ini menghadirkan Hotel Tugu sebagai saksi bisu perjalanan waktu di tengah riuhnya denyut budaya Jogja yang tak pernah padam.”
Dari Yogyakarta, kisah berpindah ke Pulau Dewata lewat tangan Winda Karunadhita, penyandang disabilitas daksa. Dalam “Bali Island” (cat minyak di atas kanvas, 50 x 60 cm, 2025), Winda membawa filosofi Tri Hita Karana—keseimbangan antara Tuhan, manusia, dan alam.
“Tentang kehidupan di pulau Bali, tentang adat budayanya yang indah dan filosofi Tri Hita Karana,” tulis Winda. “Konsep tiga aspek Tri Hita Karana adalah menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan, dengan sesama manusia, makhluk hidup, dan lingkungan. Seperti rajin bersembahyang, menolong sesama manusia dan makhluk hidup, menanam pohon dan tidak membuang sampah sembarangan agar lingkungan tetap terjaga dengan baik.”
Selain itu, Winda juga memamerkan “Rare Angon” (akrilik di atas kanvas, 50 x 50 cm, 2022), menggambarkan kehidupan anak-anak gembala Bali tempo dulu.
“Rare angon atau anak gembala, di Bali tempo dulu kebanyakan orang-orang bekerja di sawah dan memelihara sapi. Anak-anak sedari kecil sudah diajarkan untuk membantu orang tua bekerja di sawah atau menggembalakan sapi sambil bermain suling dan layang-layang. Ini menggambarkan kehidupan yang sederhana, rukun, dan damai pada tempo dulu.”
Kedua karyanya menampilkan kehangatan tradisi dan nilai spiritual yang menenangkan.
Pameran “Together Beyond Limit” bukan sekadar ajang pamer karya, tetapi ruang pertemuan antara seni dan inklusi sosial. Setiap lukisan menjadi medium untuk menegaskan kemampuan, bukan keterbatasan; semangat, bukan belas kasihan.
Kebersamaan tanpa batas
General Manager Aveta Hotel Malioboro, Cynthia Carissa, dalam sambutannya menegaskan,
“Pameran ini bukan sekadar perayaan, namun juga wujud nyata dari kebersamaan tanpa batas. Melalui karya-karya yang ditampilkan, kita diajak untuk melihat bahwa seni tidak mengenal sekat dan perbedaan; bahwa kreativitas bisa tumbuh di mana pun, oleh siapa pun, tanpa batas fisik maupun sosial,” ujarnya.
Ia menambahkan, tema Together Beyond Limits dipilih bukan sebagai bentuk belas kasih, melainkan sebagai cara hidup.
“Kami memilih tema inklusi bukan sebagai bentuk belas kasih, melainkan sebagai cara hidup—sebagai wujud bagaimana kami mencintai dan hidup bersama dalam keberagaman. Together Beyond Limits mengingatkan kita bahwa cinta tak mengenal batas, bentuk, cara, maupun suara. Cinta mendengar, memahami, dan merangkul, agar setiap insan merasa disambut dan berharga,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Jogja Disability Arts, Sukri Budi Dharma, menyebut pameran ini sebagai ruang yang membuka kesadaran sosial.
“Pameran ini benar-benar membuka rasa dan mata kita, bahwa ketika teman-teman disabilitas diberikan ruang dan kesempatan, kami pun akan memaksimalkan apa yang telah diberikan. Kegiatan ini patut menjadi contoh bagi pihak-pihak lain bahwa kesempatan selalu melahirkan potensi,” katanya.
Selama sebulan penuh, masyarakat dapat menikmati karya yang merekam ketulusan, keteguhan, dan kebebasan manusia dalam bentuk paling jujur: warna. Pameran ini menegaskan bahwa seni tidak hanya untuk dilihat, tetapi juga dirasakan—sebagai ruang bersama untuk merayakan keberagaman dan kemanusiaan.
| BPOB Luncurkan Kampanye Digital 'Malioboro: Filosofi di Balik Jalan Legendaris' |
|
|---|
| Saat Seniman Visual Lulusan ISI Yogyakarta Meresapi Realitas TPST Bantar Gebang |
|
|---|
| Bentor Masih Lalu-lalang di Malioboro, Begini Langkah Dinas Perhubungan DIY |
|
|---|
| Cerita Paimin Andalkan Becak Listrik di Malioboro, Berharap Fasilitas Pengisian Daya Dibenahi |
|
|---|
| Rencana Seribu Becak Kayuh Tenaga Listrik Lalu Lalang di Malioboro |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.