Viral Kisah Penjual Angkringan di Bantul Fasih Berbahasa Jepang

Viralnya angkringan ini bermula dari seorang mahasiswa Jepang yang datang berkunjung.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
(MG Axel Sabina Rachel Rambing)
Aziz (26) dan Evi (28) penjual angkringan di Panggungharjo, Sewon, Bantul yang sempat viral lantaran bercakap dan melayani pembeli asal Negeri Sakura menggunakan bahasa Jepang yang fasih. 

TRIBUNJOGJA.COM -- Sebuah Angkringan di Panggungharjo, Sewon, Bantul mendadak menjadi perbincangan hangat dan viral di media sosial. Ketenarannya bukan semata karena cita rasa, melainkan karena keunikan sang penjual yang fasih melayani pembeli menggunakan bahasa Jepang.

Viralnya angkringan ini bermula dari seorang mahasiswa Jepang yang datang berkunjung. Aziz (26) dan Evi (28) melayani pembeli berkewarganegaraan Jepang tersebut dengan lancar, tentunya percakapan dilakukan dalam bahasa Jepang. 

Momen itu direkam, diunggah, dan langsung menarik perhatian warganet. Menariknya,  orang Jepang yang tahu lokasi angkringan ini biasanya hanya mendapatkan informasi dari mulut ke mulut.

(Sumber video: Tiktok @infinity.feeds)

“Biasanya diberitahu dosen mereka yang orang Jepang juga. Tempat tinggal dosennya tidak jauh dari sini (angkringan),” tutur Aziz.

Di balik angkringan yang kini viral, tersimpan kisah perantauan Evi dan Aziz di Negeri Sakura. Keduanya memiliki alasan serupa memilih Jepang sebab tertarik pada nominal gaji dan menganggap negara tersebut sangat indah.

Perjalanan mereka dimulai dengan masuk ke Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) untuk mengikuti pelatihan bahasa. Evi membutuhkan waktu persiapan sekitar dua tahunan, sementara Aziz lebih cepat, hanya satu tahun.

Di sana, Evi bekerja di supermarket, sedangkan Aziz menjadi operator mesin bubut. Aziz sempat tinggal di Hamamatsu selama dua tahun sebelum berpindah ke Saitama.

Meski berangkat terpisah, takdir mempertemukan mereka di Jepang. Keduanya kemudian menjalin hubungan. 

Setelah kurang lebih enam tahun menjadi pekerja migran di Jepang, mereka pun memutuskan kembali ke Jogja pada akhir Desember 2024 untuk menikah.

Setelah menikah, muncul pergumulan tentang rencana masa depan. Awalnya, mereka tidak berencana kembali, tetapi tak lama kemudian, atasan Aziz yang berada di Jepang menelepon dan memintanya untuk kembali bekerja.

Bagi Evi, kembali ke Jepang adalah pilihan hati. Setelah sebulan menetap di Yogyakarta, ia sudah ingin segera balik ke Jepang. Ia menyukai suasana dan keramahan orang Jepang.

Namun, Aziz memiliki pandangan yang berbeda. Ia mengaku jiwa ke-Indonesiaannya masih sangat kental. 

Ia merindukan budaya kumpul dan nongkrong bersama teman-teman, sesuatu yang sulit didapatkan di Jepang. Menurutnya, kehidupan di Jepang terlalu monoton "Pagi berangkat. Malam pulang tidur. Besoknya kayak gitu terus. Tidak ada kebebasan". tukasnya.

Meskipun terjadi tarik ulur keinginan, pasangan viral ini akhirnya memantapkan keputusannya. Mereka berencana kembali menginjakkan kaki di Jepang pada Desember 2025 mendatang.

Suka Duka Sebagai Pendatang di Negeri Sakura

Tinggal di Jepang, seperti diakui Aziz, terasa lebih menyenangkan karena suasananya. Namun, sebagai pendatang, mereka harus menghadapi proses adaptasi yang ketat, terutama soal budaya dan aturan.

Masyarakat Jepang sangat menjunjung tinggi disiplin dan aturan. Kedisiplinan waktu (on time) adalah harga mati. 

Evi dan Aziz bercerita bahwa bahkan ketika membuat janji bertemu teman, mereka sudah akan berada di lokasi 5 hingga 10 menit sebelumnya, lebih memilih menunggu daripada terlambat.

Tantangan terbesar di awal adaptasi adalah aturan memilah sampah. Aturan ini sangat ketat dan berbeda-beda di setiap daerah.

“Di daerah A itu cuma tiga kantong, tapi kalau geser ke daerah B itu pilah sampah bisa sampai tujuh kantong,” jelas Aziz.

Selain itu, Aziz merasakan keterbatasan mobilitas karena di sana ia hanya bisa bersepeda, bukan berkendara dengan kendaraan pribadi. Jika ingin bepergian jauh, ia harus menggunakan transportasi umum. 

Ia justru merasa paling senang jika bisa jalan-jalan dengan teman warga lokal Jepang, sebab mereka memiliki kendaraan pribadi dan sebagai warga lokal, mereka lebih mengetahui tempat-tempat yang bisa dieksplor yang mungkin tidak diketahui para pendatang.

Dalam hal bersosialisasi, Jepang menghadirkan kontras yang unik. Masyarakatnya dikenal sangat individualis, bahkan ikatan antar tetangga terbilang minim. 

Evi memberi contoh dampak dari minimnya interaksi ini, “kadang ada kasus orang meninggal di apartemen baru ketahuan setelah beberapa hari”. 

Ikatan sosial mereka sebagian besar hanya terjalin saat di tempat kerja setelah pulang, hubungan tersebut seolah terputus.

Meskipun demikian, keramahan dan sopan santun adalah hal yang menyeluruh. Dari anak kecil hingga dewasa, mereka selalu menyapa.

Mereka juga bercerita, dalam hal pekerjaan, budaya lembur (overtime) adalah hal yang biasa, meski kini sudah dibatasi. 

“Dulu, waktu lembur bisa mencapai 40 jam sebulan.” singkat Aziz. Bahkan, ada pula istilah Sābisu Zangyō lembur yang tidak dibayar sebagai manifestasi loyalitas tinggi para pekerja. 

Aziz menyampaikan bahwa jam kerja yang gila-gilaan ini sekarang dibatasi sebab banyak pekerja Jepang yang meninggal karena kelelahan.

Mengenai penyesuaian di tempat kerja, Evi merasa budaya kerja tidak terlalu sulit. Namun, masalah bahasa tetap menjadi kendala di awal, sebab bahasa yang diajarkan saat pelatihan berbeda jauh dengan praktik di lapangan.

Selain budaya kerja, faktor cuaca juga menjadi tantangan. Jepang memiliki empat musim, dan musim panasnya tergolong ekstrem karena minim angin, menyebabkan banyak orang terutama pekerja bangunan meninggal akibat kelelahan.

Di sisi lain, adaptasi terhadap makanan yang banyak mentah sempat menjadi kesulitan awal, tetapi lama-lama, lidah Evi dan Aziz justru merasa nyaman dan enak.

Meskipun harus melalui kerasnya adaptasi budaya, jam kerja gila-gilaan, dan cuaca ekstrem, pengalaman merantau di Jepang telah membentuk disiplin dan pandangan hidup Evi dan Aziz.

Keteraturan yang menjadi budaya di negeri tersebut menjadi hal yang paling dirindukan baik oleh Aziz dan Evi. (MG|Axel Sabina Rachel Rambing)

Baca juga: Angkringan Mak Nyak Bantul Tempat Singgah Pesepeda dan Pemburu Kuliner Malam

 

 

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved