Pemda DIY Dorong Kolaborasi Lintas Sektor Tangani Kesehatan Mental Remaja

Upaya pencegahan dilakukan melalui sosialisasi dan edukasi, sedangkan langkah kuratif dijalankan lewat layanan rehabilitasi di RS Grhasia

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
PEXELS/anna-shvets
Ilustrasi foto kesehatan mental pada anak dan remaja 

TRIBUNJOGJA.COM - Di tengah meningkatnya kasus gangguan kesehatan mental di kalangan remaja, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menilai penanganan tidak bisa lagi dilakukan secara parsial. 

Kolaborasi lintas sektor - antara pemerintah, lembaga swasta, dan komunitas - menjadi kunci membangun sistem kesehatan mental yang tangguh dan berkesinambungan di Yogyakarta.

Hal itu disampaikan Staf Ahli Gubernur DIY Bidang Hukum, Pemerintahan, dan Politik, Sukamto, dalam Seminar Internasional Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025, Kamis (9/10/2025), di Gedung Radyo Suyoso, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta.

Seminar yang mengangkat tema “Kesehatan Mental bagi Generasi Muda: Akses, Kesadaran, dan Harapan” ini merupakan hasil kolaborasi antara Pemda DIY, Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa (TPKJ) DIY, Pusat Rehabilitasi YAKKUM, Pusat Studi Gender, Anak, Lansia, dan Disabilitas Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Lembaga Advokasi Keluarga Indonesia (LAKI), serta Rumpun Nurani.

Sukamto menjelaskan, Pemda DIY melalui perangkat daerah terkait telah menjalankan berbagai langkah preventif dan kuratif untuk menangani permasalahan kesehatan mental masyarakat.

Upaya pencegahan dilakukan melalui sosialisasi dan edukasi, sedangkan langkah kuratif dijalankan lewat layanan rehabilitasi di RS Grhasia maupun fasilitas sosial di bawah Dinas Sosial DIY.

“Saya kira, kegiatan hari ini juga dalam rangka untuk mengatasi permasalahan yang ada di masyarakat ya. Masalah depresi, masalah tidak percaya diri, baik karena masalah ekonomi, masalah sosial, atau masalah lainnya. Dan di masyarakat sudah dibentuk pendamping. Jadi memang ada yang penanganannya itu melalui instansi pemerintah, tetapi juga ada yang secara mandiri dilakukan oleh masyarakat,” ujar Sukamto.

“Saya kira dengan kolaborasi antara pemerintah, antara lembaga swasta seperti YAKKUM ini, kemudian masyarakat, insyaallah permasalahan depresi dan lainnya itu segera bisa teratasi,” tambahnya.

Salah satu narasumber seminar dari Pusat Rehabilitasi YAKKUM, Muhammad Rafliansyah S., menyoroti masih terbatasnya ruang aman bagi remaja untuk berbagi dan berdiskusi tentang kesehatan mental mereka. 

Kondisi itu, menurutnya, menjadi salah satu pemicu munculnya kasus-kasus ekstrem di kalangan generasi muda, seperti kasus bunuh diri seorang remaja berusia 15 tahun di Imogiri, Bantul, yang baru-baru ini terjadi.

“Sebenarnya teman-teman itu cuma butuh untuk disampaikan, diedukasi, dan didekati gitu. Sebenarnya poinnya di situ. Ketika mereka sudah merasa nyaman, terbuka, untuk cerita, saya pikir kasus-kasus yang seperti yang tadi itu bisa kita cegah,” tutur Rafliansyah.

“Karena kan sebenarnya poinnya kenapa mereka sampai ke sana itu karena mereka enggak punya tempat untuk menyampaikan apa yang dia rasakan gitu kan. Karena mungkin beberapa hal. Pertama, mereka merasa enggak aman untuk cerita ke orang lain karena takut ceritanya mungkin disebar dan lain sebagainya,” lanjutnya.

Menurut Rafliansyah, generasi muda masa kini cenderung baru mau terbuka setelah diajak berbicara terlebih dahulu. Oleh karena itu, penting membangun budaya saling menanyakan kabar dan perasaan sejak dini, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun komunitas.

“Di kalangan anak muda sekarang, trennya mereka harus banyak ditanya terlebih dahulu sebelum mau bercerita. Jadi budaya untuk mencoba menanyakan kabar, budaya untuk menanyakan bagaimana perasaan generasi muda harus dimulai dari sekarang,” ujarnya.

“Dan itu yang kami lihat di teman-teman muda itu belum familiar atau belum menjadikan satu kebiasaan baik di sekolah dan di beberapa tempat gitu,” imbuhnya.

Sebagai langkah konkret, Pusat Rehabilitasi YAKKUM mengembangkan Program ASIK (Aksi Sehat Jiwa, Inisiatif, dan Kontribusi Anak Muda). Program ini memberi ruang aman bagi remaja untuk saling berbagi, belajar mengenali diri, dan membangun jejaring dukungan sebaya (peer support) di lingkungan mereka.

“Pelatihan itu untuk menekankan bahwa setiap orang tuh punya value masing-masing, setiap orang tuh punya perbedaan, dan merasa tidak baik-baik saja itu ya it’s okay gitu ya. Kayak sesuatu yang normal saja gitu teman-teman,” kata Rafliansyah.

“Nah untuk menjaga stabilitas itu, kita saat dimulai program ini ingin membentuk peer support antar sebaya. Karena kan salah satu yang kita temukan, teman-teman itu mereka ngerasa lebih aman dan nyaman untuk cerita ke orang-orang yang merasa seumuran gitu. Jadi harapannya dengan program peer support di sekolah, di karang taruna dan di komunitas itu, teman-teman sudah mulai membentuk ekosistem kecil-kecilan di lingkungannya untuk bisa cerita dan berbagi apa yang dia rasakan,” paparnya.

Sejak program ini dijalankan, banyak remaja mengaku bingung kepada siapa mereka bisa bercerita tentang masalah pribadi. Perasaan tidak aman untuk terbuka kepada orang sekitar menjadi keluhan yang paling sering muncul, terutama dari remaja usia 16–25 tahun.

“Jadi tugasnya kita sebenarnya ingin gimana mereka tuh bisa merasa nyaman, aman dan paling tidak mereka bisa mengenal dirinya sendiri aja gitu. Nah harapannya, melalui program ASIK dan juga kolaborasi lintas sektor ini, pemerintah dan yang lain adalah kita mulai pelan-pelan untuk terbuka dan membuat ruang aman untuk teman-teman remaja gitu. Biar kasus-kasus seperti itu bisa mulai dicegah dari aspek pencegahan dan promotifnya,” ujar Rafliansyah.

Rafliansyah menambahkan, sebagian generasi muda kini mulai sadar pentingnya kesehatan mental, meski di sisi lain tren self-diagnosis masih sering terjadi.

“Itu yang kita coba untuk pelan-pelan mengedukasi ke teman-teman, ketika misalnya mereka merasa tidak baik-baik saja, itu banyak kok sebenarnya ruang-ruang untuk mereka bisa akses gitu kan. Misalnya ke psikolog yang ada di Puskesmas dan lain sebagainya,” katanya.

Selain seminar, kegiatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025 di Yogyakarta juga menghadirkan pameran komunitas yang menampilkan karya dari penyintas gangguan kesehatan mental. Panitia turut menyediakan layanan konseling gratis serta skrining kesehatan mental bagi peserta dan masyarakat umum.

Melalui kegiatan ini, Pemda DIY bersama mitra berharap dapat memperkuat kesadaran publik bahwa kesehatan mental adalah bagian penting dari kesejahteraan masyarakat. Kolaborasi lintas sektor diharapkan mampu menciptakan ruang publik yang inklusif, aman, dan suportif bagi generasi muda untuk pulih dan tumbuh bersama.

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved