Kisah Inspiratif

Kisah Pedagang Klithikan, dari Seniman ke Rongsok Mencari Makna Tanpa Ambisi

selaras dengan prinsip hidupnya yang sudah tidak lagi punya ambisi dan merasa puas meskipun belum memiliki segalanya.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
(MG Axel Sabina Rachel Rambing)
Yulianto (38), pedagang barang bekas sekaligus pengamen dan pantomim dari panggung ke panggung. Ia membuka lapak di salah satu pagelaran budaya di DIY. (05/10/2025) 

TRIBUNJOGJA.COM -- Yulianto (38), sosok unik yang memadukan profesi sebagai pedagang klithikan dengan jiwa seorang seniman sejati. Yulianto memilih jalur wirausaha sebagai pedagang barang bekas sekaligus pengisi hiburan dari panggung ke panggung.

Sesekali ia juga mengumpulkan barang rongsok dan botol-botol plastik untuk dijual kembali ke pengepul. 

Menurutnya isu sampah masih jadi masalah di kota tempatnya tinggal ini, dan ia melihatnya sebagai celah untuk menghasilkan pundi-pundi uang.

Walaupun demikian, berdagang klithikan masih menjadi fokus utamanya. Ia memiliki strategi tersendiri dengan cara membeli barang bekas layak pakai dari warga di desa-desa.

Menurut Yulianto, cara ini dapat membantu perekonomian warga di desa yang seringkali tak tersentuh perputaran ekonomi besar-besaran dikota.

Di balik kesibukannya mengurus barang bekas, Yulianto adalah seorang seniman serba bisa yang memulai karir lewat mengamen dari panggung ke panggung dan berpantomim. 

Ia pernah mengikuti ajang pencarian bakat Indonesian Idol, meraih juara 2 lomba pantomim nasional, dan juara 1 stand-up comedy yang diadakan oleh sebuah komunitas.

Hal ini yang kemudian membawanya untuk menjual jasa hiburan dari panggung ke panggung.

Yulianto mengisi acara
Yulianto (38) mengisi acara di sebuah pagelaran budaya, Kotagede, DIY. (05/10/2025).

Uniknya, ia sering dibayar untuk jasanya sebagai pengisi acara  dengan sebuah lukisan jika klien tidak mampu membayar standar harganya dengan uang. 

“Klien adanya (uang) berapa lalu ditambah lukisan, toh seni itu sangat berharga,” tambahnya (05/10/2025).

Ia menggemari filsuf Jawa melalui karya Suryo Mentaram yang mengajarkan tentang Kawruh Jiwa atau ilmu bahagia.

Melalui tulisan filsuf tersebut, Yulianto belajar tentang sifat dasar keinginan manusia yang tak pernah puas dan cara mencapai kedamaian jiwa melalui penerimaan hidup apa adanya. 

Filosofi ini selaras dengan prinsip hidupnya yang sudah tidak lagi punya ambisi dan merasa puas meskipun belum memiliki segalanya.

Menurutnya, pemikiran seperti ini mampu menghindarkan dirinya dari rasa kecewa.

Selain Kawruh Jiwa, ia juga mendalami pemikiran filsuf seperti Plato yang hidup berdekatan dengan rakyat kecil.

Kecintaannya pada seni sangat mendalam, hingga ia merenungkan realitas kehidupan melalui sebuah puisi berjudul Sajak Sebatang Lisong karya W.S. Rendra.

“Puisi ini memberi gambaran kesulitan ekonomi dan keadilan yang hanya berpihak pada pemilik kekuasaan,” jelas Yulianto disertai penekanan saat bicara soal keadilan.


Perjuangan Rakyat Biasa Menepis Kekuasaan Para Elit

Sejatinya, pekerjaan apapun yang telah diusahakan Yulianto dari mengumpulkan rongsok, berdagang klithikan, mengamen, dan berpantomim adalah gambaran bagaimana rakyat kecil harus berusaha dengan segala cara untuk menghasilkan di tengah himpitan ekonomi. 

Yulianto menyadari betul bahwa perputaran ekonomi hanya terjadi dalam lingkup para pengusaha dan para elit yang seringkali tidak menyentuh rakyat kecil. 

Yulianto tidak sendiri, ia bercerita bahwa tempat obrolan paling jujur adalah di angkringan. 

“Di angkringan, rakyat biasa berkumpul, ngobrol tentang kesulitan membeli beras, membayar listrik, atau sekadar untuk makan,” imbuhnya (05/10/2025).

Sebagaimana ia merenungkan karya-karya filsuf yang ia baca, Yulianto memahami penderitaan rakyat karena dirinya juga bagian dari itu. 

Maka, berdagang barang bekas yang ia beli dari warga desa merupakan upaya nyatanya untuk menjaga perputaran uang dalam lingkup mikro. 

Ia bahkan secara sadar lebih memilih berbelanja di warung-warung kecil daripada supermarket besar, sebab menurutnya dengan berbelanja di warung, ia membantu perekonomian para rakyat.

Sosok ini mempraktikkan apa yang dipelajari dalam kehidupannya sehari-hari, hidup dengan merasa cukup, dan membantu siapapun selagi mampu. 

Sebab ia punya prinsip kuat bahwa rezeki itu seperti memotong kumis, jika dipotong (dibagikan), nanti akan tumbuh lagi. (MG|AXEL SABINA RACHEL RAMBING)

Baca juga: Nasib Pedagang di Pasar Klithikan Pakuncen yang Kian Sepi Pengunjung

 

 

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved