DPRD DIY Dorong Penguatan Sistem Elektronik Pengadaan Barang dan Jasa untuk Tekan Kemiskinan

DPRD DIY menilai penguatan sistem elektronik merupakan langkah strategis untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi sekaligus menekan angka kemiskinan

Dok. Tribun Jogja
DPRD DIY Dorong Penguatan Sistem Elektronik Pengadaan Barang/Jasa untuk Tekan Kemiskinan. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pendaftaran Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Pemerintah menjadi salah satu fokus penting dalam mendukung transparansi, efisiensi, serta akuntabilitas tata kelola pemerintahan.

DPRD DIY menilai penguatan sistem elektronik merupakan langkah strategis untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi sekaligus menekan angka kemiskinan.

Anggota Komisi C DPRD DIY, Drs. H. Suwardi, menegaskan bahwa pemanfaatan teknologi dalam pengadaan barang dan jasa tidak dapat ditawar lagi.

Seluruh proses kini berbasis elektronik melalui berbagai instrumen, seperti e-katalog, Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE), hingga toko daring.

“Kita semua sangat menyadari pentingnya sistem elektronik. Bahkan sekarang sistem pemerintahan kita memang berbasis elektronik. Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) ini juga bagian dari penyelenggaraan pemerintahan, sehingga harus berbasis elektronik: ada e-katalog, ada SPSE, ada sistem daring. Itu semua adalah bentuk pelayanan yang bisa diberikan dengan lebih cepat dan akuntabel,” ujar Suwardi dalam siniar INsight bertajuk Pendaftaran Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah DIY, yang disiarkan Tribun Jogja, Selasa (23/9/2025).

Namun, Suwardi mengingatkan bahwa dunia usaha di Yogyakarta tidak berada pada level yang sama.

Usaha kecil dengan aset sekitar Rp100 juta harus bersaing dengan usaha yang bernilai miliaran hingga triliunan rupiah.

Meski begitu, pemerintah tetap memberi ruang yang sama melalui sistem yang berlaku.

Menurutnya, tujuan utama dari implementasi sistem elektronik ini adalah mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. 

“Semua ini tujuannya mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi yang kita harapkan, sehingga masyarakat bisa lebih sejahtera. Tapi masih ada lebih dari 10 persen masyarakat kita yang belum sejahtera. Inilah tanggung jawab bersama. Dunia usaha adalah bagian paling strategis untuk memupuk pertumbuhan ekonomi sekaligus mengurangi kemiskinan,” katanya.

Target penurunan kemiskinan DIY pada 2026 dipatok sebesar 5,09 persen. Karena itu, Suwardi menilai kegiatan sosialisasi, termasuk melalui podcast yang bekerja sama dengan media, perlu dievaluasi efektivitasnya.

“Kegiatan sosialisasi seperti podcast ini penting untuk melihat sejauh mana jangkauannya kepada pelaku usaha. Pertanyaannya, apakah cukup dengan podcast saja? Nanti kita bisa lihat dari angka partisipasi masyarakat. Kalau masih kurang, ya harus kita turun langsung ke masyarakat, mengajak para pelaku usaha agar bisa merasakan percepatan itu bersama-sama,” ujarnya.

Di sisi lain, masih terdapat kendala teknis berupa keterbatasan sinyal di beberapa wilayah DIY. Hal itu berpotensi mengurangi akses masyarakat untuk mengikuti sosialisasi secara daring.

Suwardi juga menyoroti pentingnya keterbukaan informasi mengenai kebutuhan barang dan jasa pemerintah. Data yang sudah ada di Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) harus dipublikasikan lebih awal agar pelaku usaha bisa mempersiapkan diri.

“Kadang-kadang pelaku usaha punya kemampuan, tapi tidak tahu ada peluang. Padahal datanya sudah dimiliki pemerintah daerah dan bisa dibaca, misalnya di SIRUP. Jadi kalau hari ini kita bahas APBD 2026, informasi kebutuhan itu harus sudah tayang di SIRUP sejak Desember. Jangan sampai diumumkan baru Januari, karena Januari itu pekerjaan sudah harus berjalan,” ujarnya.

Lebih jauh, Suwardi menekankan peran DPRD dalam mendukung penguatan sistem PBJ, baik dari sisi anggaran, regulasi, maupun pengawasan.

Saat ini, dasar hukum PBJ di DIY masih berupa peraturan gubernur (pergub). DPRD tidak menutup kemungkinan mendorong adanya peraturan daerah (perda) agar payung hukum lebih kuat.

“Terkait peran DPRD, ada tiga fungsi: anggaran, legislasi, dan pengawasan. Sosialisasi seperti ini penting. Kami mendukung dari sisi anggaran, juga memperhatikan regulasinya. Saat ini PBJ di DIY masih dijalankan dengan dasar pergub, belum ada perda. Nanti kalau memang dibutuhkan, bisa diinisiasi perda sebagai payung hukum yang lebih kuat,” kata Suwardi.

Ia menambahkan, DPRD juga akan terus memantau efektivitas berbagai kegiatan sosialisasi.

“Dari sisi pengawasan, kita juga ingin melihat sejauh mana kegiatan sosialisasi ini menjangkau pelaku usaha. Kalau sudah cukup, bagus. Kalau belum, perlu ditambah dengan kegiatan lain,” tuturnya.

Dengan sistem elektronik yang terjadwal rapi, Suwardi optimistis roda ekonomi dapat berputar lebih merata sepanjang tahun.

“Kalau menumpuk di satu bulan saja, perputaran ekonomi tidak baik. Jadi harus ada time schedule yang rapi, agar dalam 12 bulan semua bisa berjalan lancar,” ujarnya.

Penelaah Teknis Kebijakan, Beta Zainal Amirin, menambahkan bahwa pemerintah telah menyediakan tiga platform utama yang harus dipahami para pelaku usaha. Ketiganya adalah katalog elektronik (e-katalog), Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE), dan toko daring.

“Jadi, kita bicara soal bagaimana pendaftaran barang dan jasa pemerintah bagi pelaku usaha. Bagi pelaku usaha yang ingin berpartisipasi dalam pengadaan pemerintah, langkah pertama adalah pendaftaran melalui sistem resmi. Ini wajib dilakukan. Pemerintah sudah menyediakan beberapa platform utama. Yang pertama e-katalog, kemudian SPSE, dan juga toko daring. Melalui pendaftaran ini, pelaku usaha memperoleh legalitas untuk menawarkan produk maupun jasanya secara resmi kepada instansi pemerintah,” ujar Beta.

Sebelum mendaftar, pelaku usaha perlu memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pengadaan barang maupun jasa. Pemahaman ini menjadi penting agar mereka dapat menyesuaikan produk yang ditawarkan dengan kebutuhan pemerintah.

“Langkah pertama, pahami dulu apa kebutuhan pemerintah. Kebutuhan itu sudah dipublikasikan di SIRUP (Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan). Di sana terpapar kebutuhan barang dan jasa dari APBN maupun APBD. Semuanya diumumkan: kementerian, lembaga, provinsi, kabupaten, kota. Dan bisa diakses tanpa login. Misalnya, pilih provinsi DIY, lalu pilih instansi, misalnya Biro Umum. Dari situ terlihat daftar paket pengadaan yang sudah diumumkan. Contoh sederhana: pemerintah DIY membutuhkan snack rapat. Itu diumumkan di SIRUP. Kalau kebetulan Anda pelaku usaha kuliner, bisa cocokkan produk Anda. Jadi jangan menawarkan sesuatu yang tidak dibutuhkan,” jelasnya.

Menurut Beta, terdapat perbedaan mekanisme pada masing-masing platform.

E-katalog digunakan khusus untuk transaksi pemerintah, toko daring melibatkan marketplace yang sudah ada, sedangkan SPSE dipakai untuk pengadaan langsung, tender, maupun seleksi.

Untuk dapat mendaftar, pelaku usaha harus menyiapkan sejumlah dokumen legalitas.

Antara lain Nomor Induk Berusaha (NIB), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), data perusahaan, hingga identitas admin atau direktur.

“Intinya kita mendorong pelaku usaha yang legal dan jelas izinnya. Jangan disamakan dengan yang tidak punya izin. Kalau tidak jelas, domisilinya pun meragukan, nanti bermasalah saat order,” kata Beta.

Proses pendaftaran pada seluruh platform dilakukan secara daring tanpa biaya.

Meski begitu, pemerintah menyadari bahwa akses internet di tiap daerah berbeda-beda.

Untuk itu, layanan konsultasi dibuka secara tatap muka maupun daring, termasuk melalui WhatsApp, Telegram, dan Zoom.

Beta menekankan pentingnya menyesuaikan produk dengan spesifikasi yang diminta pemerintah.

“Contoh, pemerintah butuh snack rapat. Kalau pelaku usaha hanya menjual gorengan lepas seperti tempe mendoan atau tahu isi, itu tidak sesuai. Maka produknya perlu dikemas dalam bentuk snack box seperti yang dibutuhkan,” ujarnya.

Ia menambahkan, kebutuhan pengadaan pemerintah wajib diumumkan di SIRUP sejak awal tahun untuk periode Januari–Desember.

Setiap transaksi di e-katalog juga harus menggunakan ID SIRUP sebagai kode unik paket pengadaan.

“Jadi intinya, pahami kebutuhan pemerintah lewat SIRUP, pilih platform sesuai mekanisme, siapkan legalitas, manfaatkan layanan konsultasi, dan sesuaikan produk dengan spesifikasi. Dengan begitu, pelaku usaha bisa resmi terdaftar dan berpartisipasi dalam pengadaan pemerintah,” tutup Beta.

Penata Layanan Operasional, Danti Darundi P. H., S.Hum, menambahkan bahwa Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) menjadi salah satu instrumen utama bagi pelaku usaha yang ingin berpartisipasi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Berbeda dengan e-katalog dan toko daring yang sudah sepenuhnya terintegrasi, proses pendaftaran akun di SPSE masih menggunakan verifikasi manual oleh penyelenggara.

“Prinsipnya sama dengan toko daring dan e-katalog. Untuk proses pendaftaran akun, semuanya membutuhkan legalitas perusahaan: KTP, NPWP, akta perusahaan, dan dokumen terkait lainnya. Bedanya, kalau di SPSE verifikasinya masih manual. Kami harus benar-benar melihat dokumennya. Kalau di e-katalogdan toko daring, prosesnya sudah base system, karena sudah terintegrasi dengan Dukcapil, OSS, dan DJP. Jadi verifikasi pendaftaran akun dilakukan otomatis oleh sistem,” ujar Danti.

Dalam praktiknya, pelaku usaha membuat akun sendiri dengan username dan kata sandi, lalu mengunggah dokumen legalitas perusahaan secara daring. Setelah itu, dokumen diperiksa langsung oleh penyelenggara SPSE.

Menurut Danti, SPSE digunakan untuk metode pengadaan dengan nilai tertentu. 

“SPSE dipakai untuk tender (paket di atas Rp200 juta), pengadaan langsung (Rp1 juta–Rp200 juta), seleksi jasa konsultasi, dan sebagainya. Jadi memang menyangkut nilai rupiahnya. Kalau kebutuhannya sederhana, misalnya snack rapat, biasanya melalui e-katalog atau toko daring. Tapi kalau sudah lebih kompleks, bisa melalui SPSE dengan tender atau seleksi,” jelasnya.

Ia menambahkan, prinsip dasar yang berlaku adalah selama barang atau jasa sudah tersedia di e-katalog atau toko daring, pemerintah tidak perlu lagi melakukan pengadaan melalui SPSE.

Pelaku usaha juga dapat memiliki akun di ketiga platform sekaligus. “Jadi pelaku usaha boleh punya akun di SPSE, e-katalog, dan toko daring. Tidak masalah. Itu justru memudahkan karena tergantung metode pengadaan yang dipakai pemerintah,” kata Danti.

Dari sisi biaya, pendaftaran akun sepenuhnya gratis. 

“Pendaftaran gratis. Tidak ada biaya apa pun. Termasuk pelatihan juga bisa diikuti tanpa biaya,” ujarnya.

Proses verifikasi pun relatif cepat. Setelah dokumen diunggah, petugas akan memeriksa kelengkapan dan kejelasannya. 

“Kalau dokumennya lengkap dan jelas, akun langsung diverifikasi. Kalau ada yang kurang, akan dikembalikan ke pelaku usaha untuk diperbaiki. Secara SOP, waktu verifikasi maksimal 45 menit sejak pendaftaran dilakukan. Tapi kalau dokumen tidak terbaca jelas, misalnya hasil scan buram, biasanya diminta untuk diunggah ulang,” jelas Danti.

Satu akun SPSE berlaku secara nasional. Artinya, perusahaan yang mendaftar di Yogyakarta tetap bisa mengikuti pengadaan di provinsi lain dengan akun yang sama. Sistem akan otomatis mendeteksi asal pendaftaran dan dokumen perusahaan.

“Artinya, peluang pelaku usaha sebenarnya sudah terbuka lebar. Dengan satu akun resmi dan legalitas lengkap, mereka bisa ikut serta dalam pengadaan pemerintah, tidak hanya di DIY tapi juga di seluruh Indonesia,” tutur Danti. (*)

 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved