Ngopi, Gowes, dan Solidaritas: Kisah Komunitas Onthelis Djadoel Jogjakarta

Ratusan orang telah berbagi hobi onthelis melalui KODJA. Kebanyakan dari mereka merupakan laki-laki maupun perempuan di usia pensiunan

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Ikrob Didik Irawan
Ist
Komunitas Onthelis Djadoel Jogjakarta (KODJA) 

TRIBUNJOGJA.COM -  Di bangunan nomor 648, Jalan Prawirotaman, Mergangsan, Kota Yogyakarta, Oyok Rusdyantoro (73) menyiapkan tempat berkumpul bagi Komunitas Onthelis Djadoel Jogjakarta (KODJA).

“Sengaja saya sediakan dispenser berisi kopi dan teh di sini. Jadi kalau teman-teman KODJA datang, mereka bisa sambil minum,” kata Oyok saat ditemui, Rabu (17/9/2025).

Di rumah yang telah beralih fungsi menjadi penginapan itu, Oyok dan Pram duduk bersama, mengenang kisah awal berdirinya KODJA. Sekitar dua kilometer dari sana, di Jalan Minggiran, perjalanan komunitas ini bermula.

Berdiri pada 1 Oktober 2010, KODJA merupakan komunitas inisiasi Oyok dan tiga kawannya yakni Rus, Yanto, dan Bagus yang mencintai sepeda klasik, onthel. Ciri khas mereka adalah bersepeda sambil mengenakan pakaian pejuang.

Bagi Oyok, sebagai ketua komunitas, sepeda onthel menyimpan kisah tersendiri. Onthel adalah warisan turun-temurun dari orang tua, yang ia gunakan sejak masa sekolah menengah pertama.

Ia mengingat hari-hari itu, saat semua orang menggunakan sepeda untuk bekerja dari Bantul hingga ke Kota Yogyakarta.

“Komunitas ini berdiri karena Yogyakarta dikenal sebagai kota sepeda dan kota pejuang,” terangnya.

Hingga hari ini, ratusan orang telah berbagi hobi onthelis melalui KODJA. Kebanyakan dari mereka merupakan laki-laki maupun perempuan di usia pensiunan.

Komunitas Onthelis Djadoel Jogjakarta (KODJA).
Komunitas Onthelis Djadoel Jogjakarta (KODJA). (Ist)

Pukul 06.30 pagi, beberapa dari mereka selalu berkumpul di Terang Bulan, Malioboro.

Selain kumpul harian, komunitas ini juga melakukan kegiatan sosial, upacara, dan pawai.

Di bulan Ramadan misalnya, KODJA kerap membagikan takjil bagi kaum duafa, tukang becak, hingga pemulung. Sementara itu, tiap 17 Agustus, KODJA rutin melaksanakan upacara bendera di Titik Nol.

“Dari Hotel Garuda hingga Titik Nol sepeda kami tuntun sambil menyapa wisatawan, kemudian baru mengadakan upacara,” imbuh Oyok.

Di antara seluruh anggota KODJA, Oyok mengatakan terdapat lima pemilik bengkel yang mengurus soal perawatan sepeda onthel. Pramoko Pujinarto (59), yang duduk di sebelahnya, salah satunya.

Pria yang akrab disapa Pram itu tahu betul seluk-beluk onderdil sepeda onthel produksi Eropa.

“Onderdil onthel itu jelas sudah tidak diproduksi. Jadi memang harus benar-benar nguri-uri budaya atau dilestarikan. Kalau ingin cari ya di pasar loak,” jelas Pram.

Keberhasilan menjaga orisinalitas sepeda onthel, merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi pemiliknya. Sebagian orang bahkan berani membayar mahal untuk komponen asli dari merek yang sama.

“Untuk sebuah skrup asli, bahkan bisa dihargai hingga Rp50 ribu,” tuturnya sambil tertawa.

Selain soal onderdil, Pram sebagai pengurus KODJA menceritakan kisah menarik yang dialami seorang anggota komunitas itu.

“Ada teman yang sakit saraf kepalanya hingga sulit jongkok. Setelah ikut komunitas ini dia merasa bahagia terus, lalu jadi membaik,” kata Pram.

Menurut Pram, solidaritas dan cerita semacam itulah yang membuat jumlah anggota KODJA terus bertambah bahkan memiliki loyalitas yang tinggi. Bersepeda bersama terbukti meningkatkan kebahagiaan dan kesehatan.

Baik Oyok dan Pram, sama-sama berharap, keberadaan KODJA dapat menjadi motivasi bagi masyarakat luas untuk kembali menjadikan sepeda sebagai moda transportasi bepergian.

Mereka juga berpesan agar pemerintah dapat menambah pembangunan infrastruktur seperti jalur khusus sepeda. “Harapannya, Yogyakarta dapat kembali menjadi kota sepeda,” tutup Pram. (MG Sofia Natalia Zebua)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved