Hadiri Ritual Megawe Kelompok Penghayat Kepercayaan, Cucu Sultan Tekankan Pentingnya Guyub Rukun

Pada kesempatan itu, Marrel menekankan pentingnya hidup berdampingan, guyub rukun di dalam perbedaan.

Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Yoseph Hary W
Tribun Jogja / Ahmad Syarifudin
LABUH SAWAH: Cucu Sri Sultan Hamengku Buwono X, Raden Mas Gusthilantika Marrel Suryokusumo, memukul kentongan tanda dimulainya ritual labuh sawah atau megawe di Kelurahan Margomulyo, Seyegan, Kabupaten Sleman. 

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Cucu Sri Sultan Hamengku Buwono X, Raden Mas Gusthilantika Marrel Suryokusumo, menghadiri pelaksanaan ritual labuh sawah atau megawe di Kelurahan Margomulyo, Seyegan, Kabupaten Sleman.

Upaya melestarikan tradisi pertanian leluhur ini diselenggarakan oleh Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Sleman, berkolaborasi berbagai pihak termasuk dihadiri dari perwakilan kelompok penghayat kepercayaan di Yogyakarta. 

Pada kesempatan itu, Marrel menekankan pentingnya hidup berdampingan, guyub rukun di dalam perbedaan.

Menurut dia, terkadang masyarakat memahami bahwa guyub rukun hanya bisa tercipta ketika semuanya sama. Satu pemikiran. Padahal, yang menjadi Yogyakarta dan Indonesia saat ini adalah guyub rukun di dalam perbedaan. 

"Jadi itu menurut saya yang lebih penting, dan perlu disuarakan di masa-masa sekarang. Justru di banyak perbedaan ini lah, kita ditantang untuk tetap guyub rukun. Kalau semuanya sama sudah pasti rukun. Tapi ketika kita berbeda, tidak memiliki pemikiran yang sama, tapi tetap menjaga kerukunan. Itulah prestasi," katanya, Selasa (16/9/2025). 

Marrel mengatakan, di Yogyakarta banyak kelompok masyarakat penghayat kepercayaan. Di Kabupaten Sleman juga sudah ada MLKI, yang berkumpul dan menggelar ritual labuh sawah atau megawe sebagai bagian dari upaya melestarikan tradisi leluhur pertanian yang dianut.

Bagi Marrel, begitulah gunanya kepercayaan, selain mencari jati diri didalam spiritual juga mengimplementasikan keluar untuk bermanfaat bagi sesama dan masyarakat banyak. 

"Jadi itu yang menurut saya ciri khas Jogja. Pentingnya gotong-royong dan bagaimana bisa membantu sesama. Itu menjadi spiritnya orang-orang Jogja,"kata dia. 

Sebagaimana diketahui, Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Kabupaten Sleman bersama Lembaga Sri Tumuwuh, dengan dukungan Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman menyelenggarakan ritual dan serasehan Labuh Sawah atau Megawe di Bulak Kenari, Kregolan, Margomulyo, Seyegan, Selasa (16/9/2025).

Ini merupakan kegiatan budaya untuk melestarikan tradisi pertanian leluhur yang sarat akan kearifan lokal.

Ketua Panitia, Joko Margono mengatakan, megawe merupakan ritual adat untuk mengawali prosesi penanaman padi yang telah diajarkan oleh leluhur.

Diselenggarakannya kegiatan ini, bukan hanya sekadar ritual melainkan juga ruang belajar bersama tentang bagaimana manusia menjaga harmoni dengan alam.

Joko mengatakan, pelaksanaan ritual ini berkolaborasi juga dengan Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKis) yang nantinya akan melakukan kajian. Sebab modernisasi dan ekonomi global ke depan bakal menjadi tantangan pertanian. 

"Mudah mudahan ini bisa menjadi edukasi bagi generasi yang akan datang," kata Joko. 

Prosesi ritual labuh sawah atau Megawe diawali dengan berkumpul bersama di Sekretariat Lembaga Sri Temuwuh di Jalan Tempel - Seyegan.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved