Bukan Dirayah, Nyadhong Gunungan Garebeg Mulud Keraton Yogyakarta Ajak Warga Sabar Menerima Berkah

Keraton Yogyakarta menegaskan kembali filosofi Jawa yang sarat makna yakni menerima dengan tertib dan penuh penghormatan.

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
NYADONG GUNUNGAN: Pj. Sekretaris Daerah DIY, Aria Nugrahadi, menerima Gunungan dari empat utusan Pemda DIY di Kompleks Kepatihan, Jumat (5/9). Prosesi Nyadhong ini menegaskan kembali makna filosofisnya: menerima anugerah dengan penuh tertib dan penghormatan. 

TRIBUNJOGJA.COM - Di balik kemeriahan prosesi Hajad Dalem Garebeg Mulud Tahun Dal 1959/2025, Jumat (5/9/2025), Keraton Yogyakarta menegaskan kembali filosofi Jawa yang sarat makna yakni menerima dengan tertib dan penuh penghormatan.

Tradisi nyadhong - menerima pemberian dari raja tanpa berebut - menjadi sorotan utama, sementara hadirnya Gunungan Bromo yang hanya dikeluarkan tiap sewindu menambah kekhususan perayaan.

Sejak pagi, ribuan warga dari berbagai daerah memadati pusat kota Yogyakarta. Mereka menunggu keluarnya gunungan dari Keraton yang dikawal bregada menuju Masjid Gedhe Kauman.

Setelah didoakan, gunungan itu dibagikan kepada masyarakat. Gunungan lain turut diarak ke Pura Pakualaman, Ndalem Mangkubumen, dan Kompleks Kepatihan, masing-masing disambut dengan upacara adat.

Kepatihan menjadi salah satu titik penting perayaan. Di Pendapa Wiyata Praja, Upacara Penerimaan Pareden dilangsungkan dengan khidmat.

Empat utusan Pemda DIY ditugasi sowan ke Keraton untuk nyadhong pareden: Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda DIY Tri Saktiana, Paniradya Pati Kaistimewan Aris Eko Nugroho, Kepala Biro Umum Setda DIY Teguh Suhada, serta Kepala Biro Tapem Danang Setiadi.

Dengan pengawalan bregada dan abdi dalem, mereka membawa pulang ubarampe paringan Ngarsa Dalem ke Kepatihan. Sesampainya di lokasi, rombongan disambut Staf Ahli Gubernur DIY bersama sejumlah kepala OPD. Prosesi dilanjutkan dengan upacara serah terima sesuai tata cara adat Jawa.

Pj Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Aria Nugrahadi, menyebut Garebeg kali ini istimewa.

“Ini adalah pelestarian peristiwa budaya dalam rangka Maulid Nabi Muhammad SAW, dalam hal ini dilaksanakannya Garebeg Mulud salah satunya di Kompleks Kepatihan Yogyakarta,” ujarnya.

Mengembalikan Nilai Zaman Sultan HB VII

Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, menjelaskan bahwa dalam dua tahun terakhir prosesi Garebeg sengaja dikembalikan pada makna dan nilai yang berlaku sejak masa Sultan HB VII.

“Paringan Dalem sebagai ungkapan syukur beliau ketika masa Sultan HB VII gunungan tidak dirayah atau diperebutkan. Maknanya adalah nampi paringan dalem satu per satu,” jelasnya.

Ia menambahkan, penyesuaian prosesi ini meniadakan tradisi berebut gunungan. Selain itu, Kaprajan kini menjadi bagian dari prosesi nyadhong.

“Empat utusan Pemda DIY sowan ke keraton untuk nyadhong. Mereka diterima di Siti Hinggil Pagelaran Keraton Yogyakarta serta mengikuti doa bersama di Masjid Gedhe Kauman. Kemudian ubarampe pareden paringan Ngarsa Dalem dibawa ke Kepatihan,” paparnya.

Perubahan prosesi bukan sekadar teknis, melainkan sarat nilai edukasi.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved