Kronologi Pembuatan Mural 'Reset Sistem' dan 'Awas Intel' di Yogyakarta hingga Akhirnya Dihapus
Mural bertuliskan 'Awas Intel' dan 'Reset Sistem' yang mereka buat di Jembatan Kewek dan Jokteng Wetan, Yogyakarta, tak bertahan lama.
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Bagi sekelompok seniman muda, tembok kosong di sudut kota adalah ruang bersuara.
Namun, mural bertuliskan 'Awas Intel' dan 'Reset Sistem' yang mereka buat di Jembatan Kewek dan Jokteng Wetan, Yogyakarta, tak bertahan lama.
Malam harinya mereka didatangi oknum yang diduga aparat, dan keesokan pagi mural itu sudah hilang.
Senin (1/9/2025) siang, sekitar 20 seniman jalanan sepakat berkumpul untuk membuat mural.
Mereka terlebih dahulu menggarap sebuah mural di jembatan Kewek sekitar pukul 13.00–14.00.
Seusai makan siang, mereka melanjutkan ke Pojok Beteng (Jokteng) Wetan, simpang empat Jalan Brigjen Katamso, Kota Yogyakarta.
“Hari Senin kemarin, kami mengerjakan dua mural bersama teman-teman. Lokasinya ada di dua titik: pertama di jembatan Kewek, lalu setelah makan siang kami memutuskan lanjut ke Jokteng Wetan,” kata Kinky 20, salah seorang Seniman street art.
Di lokasi kedua, mereka menulis mural dengan teks 'Reset Sistem' di bagian atas bangunan kosong, kemudian menambahkan tulisan 'Awas Intel' di bagian bawah.
Warna hijau huruf dipadu dengan latar merah.
Menjelang sore, mereka mulai curiga karena melihat beberapa orang tak dikenal.
“Awalnya seorang pria tua berbaju putih lewat di depan saya dan beberapa teman-teman. Kami sudah curiga ia intel, tapi kami diamkan dulu,” ujar Kinky.
Baca juga: Datangi Seniman Mural di Jokteng Wetan, Polresta Yogyakarta Bantah Adanya Intimidasi
Tak lama, sekelompok orang berpakaian biasa mendatangi mereka. Suaranya keras, bahkan bernada intimidatif.
“Jumlahnya cukup banyak. Mereka hampir mengintimidasi dengan suara keras dan penuh emosi. Kami mencoba tetap tenang, memilih berdialog tentang tujuan kami membuat karya kreatif di Jokteng Wetan ini,” ujarnya.
Menurut Kinky, kelompok itu tersinggung dengan salah satu mural yang menggambarkan polisi menindas.
"Saya pun bertanya mana karyanya yang bikin mereka tersinggung?’ lalu menunjukkan mural tersebut,” tambahnya.
Dialog pun berlangsung panjang. Pria yang diduga polisi tersebut mencoba memberi penjelasan terkait kasus mahasiswa Amikom, Rheza Sendy Pratama, yang meninggal dan sempat diangkat lewat mural.
“Mereka mencoba mengelak, memberi narasi bahwa korban jatuh dan patah tulang. Padahal kami tahu belakangan tubuh korban babak belur,” kata Kinky.
Setelah mural rampung, tiga orang diduga polisi kembali mendatangi mereka. Kali ini, tuntutannya berbeda.
“Intinya, mereka menuntut agar karya hanya berisi hal-hal indah. Kami menolak, karena bagi seniman, indah itu relatif. Saat ada krisis nasional, tidak mungkin kami hanya melukis pemandangan,” ujar Kinky.
Kinky pun menegaskan, mereka berusaha menjelaskan bahwa aksi mereka dilindungi hukum.
Namun, situasi sempat mencekam. Sekitar pukul 20.00, Kinky dan kawan-kawan hampir dijemput oleh pihak kepolisian.
“Ada truk polisi, sepertinya akan menjemput kami. Tapi karena kami bisa berdialog dan mereka mati kutu, akhirnya ada tiga orang lagi yang datang, bilang bahwa 'Ayo Jaga Jogja dan sebagainya. Padahal ini kan bicara nasional, saya pun bilang kalau karya ini njenengan bredel, ini akan jadi isu nasional dan blunder lagi untuk institusi kalian," ujarnya.
"Tapi mereka tidak mendengar suara kami," tambahnya.
Selasa (2/9/2025) pagi, mural tersebut sudah tidak utuh lagi.
Tulisan 'Awas Intel' telah ditimpa cat merah, sementara mural polisi menindas hilang sama sekali.
Tulisan 'Reset Sistem' masih terlihat, tetapi posisinya juga terancam dihapus.
Bagi mereka, penghapusan ini merupakan bentuk pemberangusan.
“Tidak ada institusi yang berhak membatasi ruang seni. Kami turun ke jalan karena suara kami tidak didengar. Semua biaya mural ditanggung sendiri dari iuran sukarela. Tapi ketika turun, keselamatan tidak ada jaminan,” ungkapnya.
Kinky menekankan bahwa mural itu bukan karya komunitas tertentu, melainkan hasil inisiatif individu dengan keresahan yang sama.
“Mural dibuat oleh sekitar 20 orang, tapi bukan atas nama komunitas. Ini murni inisiatif individu. Kami sepakat berkarya sebagai pekerja seni untuk merespons situasi nasional,” ujarnya.
Ia menilai penghapusan mural sebagai tindakan berbahaya.
“Kalau karya kami dibredel, itu justru jadi blunder bagi institusi mereka sendiri. Masalahnya bukan sekadar mural dihapus, tapi pesannya dibungkam. Padahal karya ruang publik itu akan menggema ketika publik melihatnya. Saat dihapus, historinya hilang,” kata Kinky.
Menurutnya, target kritik bukan polisi, melainkan kebijakan DPR.
“Nah, oknum yang menghapus (mural) ini, inilah yang bermasalah. Karena ini isu nasional, musuh kami adalah DPR, bukan kamu polisi, kan gitu. Kamu sebagai tamengnya DPR saja, tapi karena kamu berulah, sampai kamu memukuli, sampai kamu menculik, sampai kamu kemudian mensabotase, atau kemudian kamu menyusupi, membakar, dan sebagainya. Nah, itu kan menyenggol kami, menyenggol perasaan kami. Musuh kami kan awalnya DPR," kata dia.
Sejumlah seniman kini menimbang langkah berikutnya. Sebagian sudah melapor ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
“Kami sadar wajah kami sudah difoto-foto oleh aparat, jadi otomatis sudah tercatat di HP mereka. Bisa jadi ada aksi lagi, tapi dengan kondisi yang lebih terukur,” ujar Kinky. (*)
Datangi Seniman Mural di Jokteng Wetan, Polresta Yogyakarta Bantah Adanya Intimidasi |
![]() |
---|
Koperasi Seniman di Jogja Inisiasi Pasar Merdeka, Bergulir di TBEG Akhir Pekan Ini |
![]() |
---|
4 Seniman Muda Autistik Buktikan Keterampilan Karya Seni Lewat Pameran "Struggle" |
![]() |
---|
Penghapusan Mural One Piece, Pakar Komunikasi UMY: Pemerintah Gagal Membaca Kultur Pop Generasi Z |
![]() |
---|
Mural One Piece di Temuwuh Kidul Dihapus, Kini Berganti Graffiti Kekecewaan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.