Akademisi UMY Nilai Presiden Prabowo Tak Paham Konteks Aksi Unjuk Rasa, Bikin Rakyat Terpolarisasi 


Setiap pesan yang disampaikan pemimpin harus dihubungkan dengan situasi yang melatarbelakanginya

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
Tangkapan Layar YouTube KOMPAS TV
Presiden RI, Prabowo Subianto, memberikan pernyataan resmi di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (31/8/2025). 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Respons Presiden Prabowo Subianto terkait gelombang unjuk rasa yang terjadi di sejumlah daerah, mulai 29 Agustus hingga 2 September 2025, dinilai tidak memahami konteks.

Prabowo sempat mengeluarkan sejumlah pernyataan menanggapi aksi unjuk rasa, termasuk di antaranya meminta masyarakat untuk mempercayai pemerintahan yang ia pimpin hingga akan menaikkan pangkat polisi yang menjadi korban ricuh saat demonstrasi berlangsung.

Ketua Program Studi S2 Media dan Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Senja Yustitia, mengatakan komunikasi politik pemerintah, khususnya Presiden Prabowo, dalam merespons demonstrasi belakangan ini belum menyentuh akar persoalan yang dirasakan masyarakat.

“Kalau akar masalah yang disampaikan masyarakat itu adalah ketidakpuasan kinerja pemerintah dan DPR, maka masalah itulah yang perlu direspons. Misal, tidak puas karena apa? karena kinerja? atau karena pajak? Itu yang harusnya direspons,” kata Senja kepada Tribun Jogja, Selasa (2/9/2025).

Dia menjelaskan komunikasi tidak pernah bisa dilepaskan dari konteks.

Setiap pesan yang disampaikan pemimpin harus dihubungkan dengan situasi yang melatarbelakanginya

Senja menegaskan bahwa kekecewaan dan kemarahan publik dalam aksi unjuk rasa tidak muncul tanpa sebab.

Sebaliknya, ada alasan kuat seperti kinerja pemerintah, putus kerja maupun kebijakan perpajakan yang dianggap memberatkan.

“Jadi, jangan melihat apa yang terjadi hari ini, tapi lihat konteksnya apa? Respons yang ingin didengarkan publik adalah pemerintah menjawab terkait ketidakpuasan itu,” ungkapnya.

Rakyat Terpolarisasi

Senja menambahkan, apa yang dikatakan Prabowo itu justru membuat rakyat semakin terpolarisasi dengan pemerintah.

Menurutnya, ketika Presiden menyalahkan pihak-pihak yang menyampaikan aspirasi dengan alasan aksi ditunggangi pihak asing, tidak tertib, atau tidak damai, hal itu menimbulkan kesan bahwa pengunjuk rasa tidak cinta persatuan dan kesatuan.

"Itu mempolarisasi, membuat penggolongan hitam dan putih. Itu biner dan itu tidak seharusnya dilakukan kepala negara," tegas Senja.

Ia menilai, pendekatan komunikasi seperti itu menunjukkan ketidakpahaman terhadap konteks sosial yang melatarbelakangi aksi massa.

Padahal, demonstrasi adalah wujud nyata ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah maupun DPR.

Senja menekankan bahwa membangun persatuan dan kesatuan bukan hanya tanggung jawab rakyat, melainkan juga DPR dan pemerintah.

"Anggota DPR seharusnya membuat kebijakan dengan partisipasi publik yang bermakna. Pemerintah juga perlu transparan agar sinergis dengan apa yang disampaikan pemimpin pada rakyat," jelasnya.

Ia mengingatkan, konsistensi antara pernyataan Presiden dan praktik kebijakan menjadi kunci agar komunikasi politik tidak dianggap kosong oleh publik.

Ucapan Tak Sejalan Realitas



Ditambahkan Senja, pernyataan Presiden Prabowo dalam merespons aksi demonstrasi tidak sejalan dengan realitas yang sedang dirasakan masyarakat.

Ia mengatakan komunikasi pemerintah saat ini cenderung melepaskan konteks. Akibatnya, pernyataan Presiden sering dianggap tidak nyambung dengan keresahan publik.

"Kalau tidak nyambung, masalahnya tidak akan selesai. Karena respons tidak sesuai konteks dan tidak sesuai dengan yang diharapkan," ujarnya.

Senja mengingatkan, aksi unjuk rasa tidak bisa dipandang sebagai peristiwa tunggal, melainkan akumulasi kekecewaan masyarakat atas praktik pemerintah dan DPR yang jauh dari aspirasi rakyat. "Kuncinya gampang banget, respons lah sesuai konteks," ungkap dia.

Pemerintah Cenderung Lokalisasi Aksi

Senja juga menilai, pemerintah cenderung mengecilkan arti gerakan protes dengan melokalisasi peristiwa sebagai insiden sesaat, alih-alih melihatnya sebagai akumulasi kekecewaan masyarakat.

"Baik pemerintah maupun DPR merespons dengan cara yang menunjukkan mereka tidak menguasai substansi masalah. Respons justru mengecilkan protes, seolah hanya peristiwa tunggal, padahal ada konteks lebih luas," tegas Senja.

Sebagai akademisi komunikasi, ia kembali menekankan bahwa komunikasi tidak pernah bebas dari konteks. Publik selalu menilai pernyataan pejabat berdasarkan rekam jejak.

"Orang akan membandingkan ucapan hari ini dengan kejadian masa lalu atau kebijakan yang akan datang. Kalau statemennya membela rakyat, apakah sebelumnya dia memang membela rakyat? Itu yang dilihat," jelasnya.

Senja mengungkap banyak pernyataan pejabat publik justru melokalisasi masalah sehingga terkesan tidak penting dan tidak mendesak.

Padahal, keresahan masyarakat terkait kinerja pemerintah adalah isu besar yang berpengaruh pada kehidupan sehari-hari.

"Itu bentuk denial dari pemerintah. Rakyat ingin menyampaikan ketidakpuasan sebagai masalah yang urgent, bukan sekadar insiden kecil," tambahnya.

Jangan Ulangi Pendekatan Lama

Ia juga mengingatkan agar pemerintah tidak mengulang pola komunikasi lama yang cenderung top-down, kaku, dan minim empati.

"Jangan lagi menggunakan pendekatan influencer, bahasa kekuasaan yang tidak empatik, atau gaya militeristik. Itu tidak sesuai dengan semangat demokrasi," kata Senja.

Menurutnya, solusi komunikasi pemerintah sederhana: merespons sesuai konteks, mengakui substansi keresahan rakyat, serta membuka ruang partisipasi yang lebih luas. Tanpa itu, jurang ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah akan semakin melebar. (*)

 

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved