Angka Kemiskinan Yogya Ditarget Turun Jadi 5,8 Persen di 2025, Fokus 'Babat' 4 Kemantren Prioritas

Penulis: Azka Ramadhan
Editor: Muhammad Fatoni
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Masalah kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat di Kota Yogyakarta masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan.

Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, angka kemiskinan di Kota Yogyakarta masih berada di kisaran 6,26 persen, atau 28,79 ribu jiwa.

Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, mengatakan jumlah tersebut sudah mengalami penurunan sekitar 0,23 persen, dibandingkan tahun 2023 lalu.

Namun, dengan tren penurunan yang dianggap belum terlalu signifikan, ia pun berharap, pada 2025 ini angka kemiskinan bisa semakin ditekan lagi.

"Target sudah jelas, angka kemiskinan kita yang sekarang alhamdulillah terendah di DIY, dengan angka 6,26 persen, nanti di 2025 jadi 5,8 persen," katanya, di sela FGD Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Kota Yogyakarta, Selasa (5/8/2025).

Adapun target sasaran pengentasan kemiskinan tahun ini berpedoman pada pemegang Keluarga Sasaran Jaminan Perlindungan Sosial (KSJPS).

Mengacu Keputusan Wali Kota (Kepwal) No 485 Tahun 2024, pemegang KSJPS di Kota Yogyakarta mencapai 28.792 jiwa atau 12.093 Kepala Keluarga (KK).

Merujuk data tersebut, Hasto mengungkapkan, sebagian besar warga miskin di Kota Yogyakarta saat ini tersebar di empat kemantren.

Baca juga: Tak Terapkan Status KLB, Dinkes Sebut Kota Yogyakarta Waspada Leptospirosis

Meliputi, Kemantren Mergangsan sebanyak 1.759 KK, Kemantren Umbulharjo 1.667 KK, Kemantren Gondokusuman 1.447 KK, dan Kemantren Wirobrajan 1.412 KK.

"Kalau mau ditambah, ya Mantrijeron. Itu kalau dibabat, yang tinggi-tinggi itu, penurunannya pasti bisa signifikan. Kalau kabeh diayahi abot. Maka, kita babat prioritas, paling banyak di lima kemantren, istiahnya dipaksa turun," tandasnya.

Menurutnya, dalam menanggulangi kemiskinan, pemerintah tidak bisa hanya sekadar menggantungkan program-program dari atas atau pusat saja.

Sebaliknya, gebrakan-gebrakan dari para lurah, atau mantri pamong praja yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, menjadi ujung tombak.

"Dalam keadaan efisiensi, kita fokus, ayolah lurah-lurah, camat, yang gesit. Ke depan, kalau milih lurah, saya akan pilih yang bisa lari kencang dan kerja keras. Jangan dianggap pejabat-pejabat di kelurahan itu buangan," tegasnya.

Ia mencontohkan, keberadaan Kelompok Wanita Tani (KWT) yang tersebar di wilayah, jangan sebatas untuk lomba atau kegiatan seremonial semata.

Jika digarap sungguh-sungguh, keberadaan KWT sejatinya dapat mengurangi pengeluaran atau belanja kebutuhan pangan para anggotanya.

"Kita tidak boleh lagi berpikiran linier untuk penanggulangan kemiskinan. Harus yang tidak biasa, out of the box. Harus dimulai dari bawah, agar mereka yang miskin betul-betul merasakan," cetusnya. (*)

Berita Terkini