TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Awalnya, Melati (bukan nama sebenarnya), hanya ingin memastikan proses pendaftaran anaknya ke salah satu SMA negeri di Kota Yogyakarta berjalan lancar.
Namun, apa yang ditemukannya justru membuka mata tentang problematika lama yang belum juga selesai: dugaan kecurangan dalam jalur afirmasi.
“Saya iseng membuka data seleksi jalur afirmasi karena sedang bantu anak mendaftar. Tapi saya kaget, ada nama anak teman saya yang mendaftar melalui jalur afirmasi. Padahal rumahnya dua lantai, punya mobil,” kata Melati, Kamis (26/6/2025).
Sebagai orangtua, Melati memahami semangat awal dari kebijakan afirmasi yakni memberi kesempatan bagi siswa dari keluarga tidak mampu untuk bersekolah di tempat yang layak.
Namun kenyataan di lapangan, menurutnya, telah bergeser jauh dari semangat itu.
“Dulu saya cuma dengar cerita bahwa jalur afirmasi sering disalahgunakan. Sekarang saya melihat sendiri. Banyak yang tampaknya justru dari keluarga mampu,” ujarnya.
Kondisi ini membuat jalur lain, seperti zonasi wilayah atau prestasi, menjadi semakin ketat.
Melati yang mendaftarkan anaknya melalui jalur zonasi wilayah merasa kesempatannya tergerus oleh peserta afirmasi yang diduga tidak tepat sasaran.
Sekadar informasi, pada tahun ajaran 2025/2026, Pemda DIY menetapkan kuota afirmasi sebesar 30 persen dari total daya tampung sekolah negeri jenjang SMA.
Angka ini naik dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya yang hanya 15 persen.
Melati menilai peningkatan kuota tersebut tidak diiringi dengan pengawasan ketat.
Ia menyebut banyaknya peserta afirmasi yang secara kasat mata tidak tergolong miskin sebagai bukti lemahnya proses verifikasi.
“Surat keterangan miskin (SKTM) itu ternyata bisa dibuat dengan masa berlaku 1-3 bulan. Menurut saya, hal ini menunjukkan bahwa SKTM dapat diperoleh dengan mudah tanpa verifikasi yang panjang," ujarnya.
Baca juga: Disdikpora DIY Siap Batalkan Peserta Jalur Afirmasi SPMB 2025 yang Tak Sesuai Ketentuan
Kondisi ini membuatnya mempertanyakan keseriusan pihak terkait dalam menyaring data peserta afirmasi.
Apalagi, ia menemukan bahwa di wilayah pinggiran kota, kuota afirmasi justru masih tersedia.