RUU Masyarakat Adat Perlu Segera Disahkan setelah 15 Tahun Terombang-ambing di Meja Legislasi

Penulis: Ardhike Indah
Editor: Yoseph Hary W
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Foto dok ilustrasi. Dosen Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UGM, Dr. Yance Arizona, S.H., M.H., M.A

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Setelah lebih dari satu dekade terombang-ambing di meja legislasi, Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat akhirnya kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.

Keputusan ini disambut baik oleh para akademisi dan aktivis yang telah lama mengawal isu pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, termasuk Dr. Yance Arizona, S.H., M.H., M.A, dosen Fakultas Hukum UGM sekaligus peneliti hukum adat.

RUU ini dianggap sebagai momentum penting untuk memperkuat posisi masyarakat adat dalam kerangka hukum nasional. Setelah menanti selama hampir 15 tahun, banyak pihak menaruh harapan besar pada pembahasan dan pengesahan yang lebih serius kali ini.

Menurut Yance, pengesahan RUU ini mendesak dilakukan. Ia berharap, momentum kali ini tidak kembali terbuang seperti periode-periode sebelumnya.

Dengan masuknya RUU ini dalam Prolegnas Prioritas, publik berharap ada komitmen politik yang lebih konkret untuk menuntaskan legislasi yang telah tertunda terlalu lama.

“Kita perlu apresiasi bahwa DPR masih memperhatikan RUU ini, meskipun selama ini progresnya berjalan lambat. Inisiatif RUU ini sudah muncul sejak 2010 dan baru masuk Prolegnas Prioritas sejak 2011. Jadi, sudah sekitar 14 atau 15 tahun RUU ini ada di DPR tapi belum juga disahkan,” ujarnya, Kamis (8/5/2025).

Meski sudah lama dibahas, draf RUU yang ada dinilai masih belum cukup memadai.

Menurut Yance, rancangan saat ini belum mampu menyelesaikan persoalan tumpang tindih regulasi yang kerap mempersulit pengakuan terhadap masyarakat adat.

Ia menyarankan pendekatan kodifikasi melalui metode omnibus sebagai alternatif, agar undang-undang sektoral yang beririsan dengan masyarakat adat dapat dihimpun dan diselaraskan.

Hal ini akan menciptakan sistem hukum yang lebih koheren dan menghindari konflik antara peraturan yang saling bertabrakan. Tanpa reformulasi substansi, RUU ini berpotensi menjadi produk hukum yang lemah secara implementasi.

“Peneguhan prinsip-prinsip penting, termasuk kemudahan untuk meregistrasi keberadaan masyarakat adat, legalitas tanah, serta prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) perlu ditegaskan dalam RUU ini,” jelasnya.

Prinsip-prinsip tersebut, tambahnya, selaras dengan United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) yang telah disahkan sejak 2007 dan ditandatangani oleh Indonesia.

Sayangnya, banyak ketentuan dalam UNDRIP belum terimplementasi secara konkret dalam regulasi nasional. RUU ini menjadi peluang strategis untuk menerjemahkan komitmen internasional ke dalam kebijakan hukum dalam negeri.

RUU Masyarakat Adat juga dinilai penting untuk meredam konflik antara hukum adat dan hukum negara.

Halaman
12

Berita Terkini