Disbud Sleman Ajak Masyarakat Berpartisipasi Dalam Inventarisasi Warisan Budaya Tak Benda

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kepala Dinas Kebudayaan Sleman, Edy Winarya (kiri), Lurah Banyurejo, Saparjo (tengah), Akademisi UGM sekaligus Dewan Kebudayaan Sleman, Andreas Budi Widyanta (kanan).

Riset yang dilakukan oleh akademisi bisa dijadikan acuan bagi Disbud Sleman dalam menyusun kebijakan.

“Sehingga kebijakan yang nanti muncul tidak gebyah uyah, tetapi sesuai dengn prioritas dengan spesifikasi tertentu. Tentu karakternya masing-masing desa akan berbeda. Melihat konteks geografisnya, klasifikasi peradaban di timur berbeda, tengah beda, tengah berbeda. Sleman Timur lebih banyak cagar budaya, Sleman barat punya klasifikasi tetanen, pertanian. Sehingga pendekatan perlu menyesuaikan kultur lokal,” ungkapnya.

Menurut dia, rendahnya partisipasi masyarakat karena kurangnya pemahaman terkait warisan budaya tak benda.

Namun ketika pemerintah memberikan wadah dan stimulasi, serta ada kesepahaman antara masyarakat dan pemerintah, maka partisipasi akan tumbuh.

Pihaknya juga mendorong Disbud Sleman menyiapkan subjek kebudayaan.

Subjek kebudayaan memiliki peran penting, sebab yang paham sekaligus menjalankan nilai kebudayaan tersebut. 

Dengan demikian pengetahuan yang ditransfer kepada subjek didik akan lebih optimal. 

Sementara itu, Lurah Banyurejo, Saparjo menjelaskan Banyurejo memiliki banyak warisan budaya, salah satu yang kini dikembangkan adalah bebek bacem Nglengis.

Kuliner khas tersebut kini tengah dalam proses pendaftaran warisan budaya tak benda.

“Kami juga awalnya tidak tahu kalau warisan budaya tak benda. Kami hanya melakukan pembinaan UMKM saja, karena memang berada di satu wilayah (Padukuhan Nglengis). Kemudian kami diberitahu oleh dinas, jadi justru edukasi ke masyarakat ketinggalan. Karena masyarakat merasa itu sudah turun temurun, sudah tiga generasi,” jelasnya.

Dengan sosialisasi oleh Disbud Sleman, dan hadirnya SIWA, akan mempermudah pihaknya dalam melakukan identifikasi.

Pihaknya pun sudah menyampaikan kepada pamong hingga dukuh untuk melakukan identifikasi warisan budaya tak benda masing-masing.

“Saat ini kami sedang mengembangkan kesenian Rodat, ini kesenian berbau religi. Harus kolosal, sekitar 20 orang, hampir seperti tari dari Aceh, tetapi berbahasa jawa. Ini sedang kami kembangkan, karena yang tahu ini sudah sepuh-sepuh,” imbuhnya. (*)

Berita Terkini