Laporan Reporter Tribun Jogja, Christi Mahatma Wardhani
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Dinas Kebudayaan Sleman berupaya untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk menginventarisasi warisan budaya tak benda di Kabupaten Sleman.
Kepala Dinas Kebudayaan Sleman, Edy Winarya mengatakan inventarisasi dan pendokumentasian warisan budaya tak benda merupakan langkah pengembangan yang paling pokok.
Hal itu karena akan menjadi bagian rujukan dalam pengambilan kebijakan selanjutnya.
Sejak terbitnya Permedikbud Nomor 106 Tahun 2013, pihaknya telah menetapkan 22 warisan budaya tak benda.
Warisan budaya tak benda tersebut semuanya diinisiasi oleh Disbud Sleman.
Untuk itu, pihaknya kini tengah mengembangkan aplikasi SIWA atau Sistem Informasi Warisan Budaya.
“Dari 22 warisan budaya tak benda yang ditetapkan, semuanya inisiasi pemerintah, jadi tidak bottom up. Dengan aplikasi (SIWA) ini jadi kerja kolektif. Aplikasi tersebut memuat warisan budaya yang sudah ditetapkan, karya budayanya. Termasuk bagaimana cara mendaftarkan warisan budaya tak benda, sehingga ada partisipasi ada masyarakat,” katanya, Senin (18/11/2024).
“Saat ini kan eranya digital, sehingga aplikasi ini untuk mempermudah. Misalnya yang dari Gayamharjo, jauh kalau harus datang ke dinas. Ini akan menjadi efektif dan efisien. Tetapi di sisi lain, edukasi dan sosialisasi harus kita lakukan. Karena aplikasi ini kan untuk konsumen, masyarakat, supaya bisa memahami,” sambungnya.
Ia melanjutkan pihaknya juga tengah menyusun peraturan bupati, salah satunya juga untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.
Ia menyebut payung hukum mengenai warisan budaya hanya UU Nomor 5 Tahun 20117 terkait Pengajuan Kebudayaan dan Permendikbud Nomor 106 Tahun 2013 mengenai Warisan Budaya.
“Kami sedang menyusun rencana peraturan bupati, terkait partisipasi masyarakat. Agar pelestarian, pengembangan warisan budaya ini ada partisipasi stakeholder, akademisi, masyarakat, harus dituntut ikut. Kalau tidak ada regulasinya, partisipasi masyarakat rendah,” lanjutnya.
Baca juga: Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Tinjau TPST Minggir Sleman
Menurut dia, partisipasi dari seluruh stakeholder, termasuk masyarakat sangat penting untuk inventarisasi dan pendokumentasian warisan budaya tak benda.
Tanpa adanya partisipasi seluruh pihak, upaya pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan warisan budaya di Sleman tidak akan berjalan baik.
Akademisi UGM sekaligus Dewan Kebudayaan Sleman, Andreas Budi Widyanta mengungkapkan dalam perlindungan, pengembangan, pemanfaatan warisan budaya, akademisi memiliki kontribusi, terutama berkaitan dengan riset.
Riset yang dilakukan oleh akademisi bisa dijadikan acuan bagi Disbud Sleman dalam menyusun kebijakan.
“Sehingga kebijakan yang nanti muncul tidak gebyah uyah, tetapi sesuai dengn prioritas dengan spesifikasi tertentu. Tentu karakternya masing-masing desa akan berbeda. Melihat konteks geografisnya, klasifikasi peradaban di timur berbeda, tengah beda, tengah berbeda. Sleman Timur lebih banyak cagar budaya, Sleman barat punya klasifikasi tetanen, pertanian. Sehingga pendekatan perlu menyesuaikan kultur lokal,” ungkapnya.
Menurut dia, rendahnya partisipasi masyarakat karena kurangnya pemahaman terkait warisan budaya tak benda.
Namun ketika pemerintah memberikan wadah dan stimulasi, serta ada kesepahaman antara masyarakat dan pemerintah, maka partisipasi akan tumbuh.
Pihaknya juga mendorong Disbud Sleman menyiapkan subjek kebudayaan.
Subjek kebudayaan memiliki peran penting, sebab yang paham sekaligus menjalankan nilai kebudayaan tersebut.
Dengan demikian pengetahuan yang ditransfer kepada subjek didik akan lebih optimal.
Sementara itu, Lurah Banyurejo, Saparjo menjelaskan Banyurejo memiliki banyak warisan budaya, salah satu yang kini dikembangkan adalah bebek bacem Nglengis.
Kuliner khas tersebut kini tengah dalam proses pendaftaran warisan budaya tak benda.
“Kami juga awalnya tidak tahu kalau warisan budaya tak benda. Kami hanya melakukan pembinaan UMKM saja, karena memang berada di satu wilayah (Padukuhan Nglengis). Kemudian kami diberitahu oleh dinas, jadi justru edukasi ke masyarakat ketinggalan. Karena masyarakat merasa itu sudah turun temurun, sudah tiga generasi,” jelasnya.
Dengan sosialisasi oleh Disbud Sleman, dan hadirnya SIWA, akan mempermudah pihaknya dalam melakukan identifikasi.
Pihaknya pun sudah menyampaikan kepada pamong hingga dukuh untuk melakukan identifikasi warisan budaya tak benda masing-masing.
“Saat ini kami sedang mengembangkan kesenian Rodat, ini kesenian berbau religi. Harus kolosal, sekitar 20 orang, hampir seperti tari dari Aceh, tetapi berbahasa jawa. Ini sedang kami kembangkan, karena yang tahu ini sudah sepuh-sepuh,” imbuhnya. (*)