Maka, upaya yang tepat untuk mencapai hal ini adalah dengan mengubah mindset bekerja menjadi lebih berorientasi pada hasil dan prestasi kerja.
Bagaimana perusahaan dapat mengukur motivasi karyawan?
Di masa seperti sekarang ini, motif insentif atau finansial tidak lagi selalu menjadi dasar motivasi karyawan dalam bekerja.
Fenomena quiet quitting menunjukkan bahwa ada banyak aspek yang mendasari seseorang untuk memilih tetap bertahan bekerja atau meninggalkannya.
Hal ini diamini oleh Dr. Galang, bahwa kondisi dan iklim kerja di organisasi yag tidak kondusif turut mempengaruhi penurunan kinerja karyawan.
Aspek-aspek ini yang menentukan mereka dalam menciptakan iklim bekerja di sebuah organisasi.
Iklim organisasi yang sehat tentunya akan mendorong individu di dalamnya menjadi pribadi yang produktif, terlibat, dan memiliki kepuasan atas proses kerjanya.
Maka, penting bagi perusahaan untuk melihat perspektif karyawan tentang iklim organisasi yang menaungi mereka.
Alat ukur psikologi yang menggunakan perspektif karyawan terhadap lingkungan kerja, termasuk mengungkap aspek-aspek yang memengaruhi kondisi psikologis karyawan, salah satunya adalah Working Climate Assessment (WCA).
WCA mengukur aspek intrapersonal dan interpersonal yang memengaruhi iklim organisasi.
Dua aspek tersebut terbagi menjadi 7 sub-aspek, yakni autonomy, innovation, workload, job attachment, participation, acknowledgment, dan relationship.
WCA disajikan secara online sehingga dapat memudahkan pengguna untuk mengaksesnya di manapun dan kapanpun.
Dengan berbasis digital, hasil yang diperoleh melalui tes akan lebih akurat dan tepat mengukur iklim organisasi yang ada di perusahaan tersebut.
Jacaranda Consultant Indonesia menawarkan berbagai jenis asesmen sesuai kebutuhan perusahaan Anda, salah satunya adalah Working Climate Assessment (WCA).
Asesmen sebagai pencegah quiet quitting
Peran perusahaan juga merupakan bagian yang cukup penting untuk menyelesaikan permasalahan quiet quitting .
Seringkali, quiet quitting muncul karena banyaknya kinerja karyawan yang tidak terdeteksi dan terevaluasi dengan baik.
Perusahan tidak melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap hasil kerja karyawannya.
Tak hanya itu, perusahaan juga mungkin kurang komprehensif dalam melakukan asesmen di awal rekrutmen karyawan sehingga potensi dan kompetensi yang dimiliki kandidat kurang dapat terpotret dengan baik.
Hal ini rentan memunculkan berbagai dampak negatif yang berkepanjangan.
Maka, penting bagi perusahaan untuk melakukan deteksi dan penilaian secara berkala bagi para karyawannya.
Asesmen yang komprehensif dapat menjadi opsi untuk menyelesaikan permasalahan quiet quitting di perusahaan.
Asesmen dalam dunia kerja memungkinkan perusahaan untuk mengidentifikasi dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan dan motivasi karyawan.
Selain itu, potensi 1dan kompetensi karyawan juga akan terpotret dengan baik melalui asesmen yang memadai.
Maka, perusahaan dapat mengetahui secara detail mengenai keadaan karyawan yang dimilikinya.
Melalui proses asesmen tersebut, perusahaan dapat merancang intervensi yang lebih tepat sasaran dan personal, meningkatkan kesejahteraan psikologis, kepuasan kerja, dan efektivitas kepemimpinan.
Selain itu, studi juga menunjukkan bahwa pendekatan berbasis asesmen dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih positif dan produktif, serta meningkatkan retensi karyawan (Cooper & Cartwright, 1994).
Dengan demikian, kemungkinan seseorang untuk menjadi “quiet quitters” akan semakin kecil sehingga individu dapat memberikan kontribusi dan produktivitas yang memuaskan bagi perusahaan. ( Tribunjogja.com )