Kerja Segan, Resign Tak Mau: Mengenal Fenomena "Quiet Quitting" dalam Dunia Kerja

Penulis: Tribun Jogja
Editor: Gaya Lufityanti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi quiet quitting

Tribunjogja.com - Di media sosial sekarang ini, ada banyak konten yang sedang menggaungkan tren “bekerja secukupnya” dalam pekerjaan.

Mungkin kita juga sering menjumpainya di tempat kerja kita, bukan?

Hal ini dilakukan para pekerja untuk merepresentasikan kebosanan dan keengganan mereka untuk bekerja dengan effort yang lebih.

Namun, tahukah kalian bahwa fenomena ini adalah quiet quitting? Yuk simak penjelasan berikut mengenai quiet quitting beserta penanganannya!

Apa itu Quiet Quitting?

Quiet quitting diartikan sebagai keengganan karyawan untuk menampilkan performa kerja lebih dari biasanya (Zenger & Folkman, 2022).

“Hal ini bertentangan dengan harapan organisasi, yaitu karyawannya menunjukkan organizational citizenship behaviour, atau komitmen untuk menunjukkan kinerja melebihi apa yang diharapkan,” ujar Dr. Galang Lufityanto, Associate Professor of Psychology di Wenzhou-Kean University China.

Meski demikian, bukan berarti ia tidak mampu menyelesaikan tanggung jawabnya ya.

Secara gampangnya, seorang karyawan hanya menampilkan performa yang minimal dan sekadar untuk menyelesaikan pekerjaannya saja.

Namun, keadaan ini rentan menimbulkan hilangnya semangat kerja serta menurunkan tingkat komitmen dan kontribusi tambahan untuk mencapai prestasi kerja yang lebih tinggi.

Menurut Dr. Galang, hal ini umumnya terjadi karena ada permasalahan di tempat kerja atau konflik di luar kantor yang ternyata turut mempengaruhi kinerjanya di kantor. 

Quiet quitting juga mendorong seseorang untuk membatasi diri mereka dalam pekerjaannya (Mahand & Caldwell, 2023).

Tak jarang, alasan di balik perilaku ini adalah untuk menjaga work-life balance dan kesehatan mental mereka di dalam kehidupan kerja (Hare, 2022). 

Dengan membatasi diri untuk tidak berlebihan dalam bekerja, seseorang akan mendapatkan kesempatan untuk menikmati kehidupannya serta terhindar dari permasalahan psikologis.

Penyebab Quiet Quitting

Kehadiran fenomena quiet quitting dalam dunia kerja tentunya bukan tanpa sebab.

Ada beberapa penyebab yang terjadi hingga akhirnya fenomena ini menjamur di antara para pekerja di sebuah perusahaan.

Berikut tanda-tanda penyebab munculnya quiet quitting yang perlu kamu ketahui:

1. Kurangnya komitmen dalam upaya pengembangan karier

Seringkali, quiet quitting muncul dalam kehidupan seseorang karena kurangnya komitmen dalam upaya pengembangan kariernya.

Hal ini bisa terjadi berkaitan dengan individu sendiri maupun culture perusahaan. 

Pertama, individu mungkin merasa bahwa perusahaan yang menaunginya kurang memberikan kesempatan karier yang memadai untuk dirinya.

Kedua, kurangnya dukungan dari manajemen serta lingkungan kerja yang tidak menghargai kontribusi individu dalam berinovasi.

Kedua hal ini membuat individu merasa bahwa upaya mereka tidak diakui atau dihargai.

Maka, motivasi individu untuk berkembang dan berkontribusi lebih dalam organisasi juga cenderung menurun sehingga pada akhirnya memicu quiet quitting .

2. Kurangnya penghargaan terhadap karyawan 

Penghargaan yang diberikan perusahaan merupakan bentuk imbal balik atas usaha yang telah diberikan oleh karyawan.

Penghargaan di dunia kerja dapat berupa gaji, pujian, promosi, maupun hal lain yang efektif meningkatkan motivasi karyawan.

Kurangnya penghargaan dapat menurunkan motivasi dan semangat seseorang dalam menjalani pekerjaannya.

3. Rendahnya sense of belonging karyawan

Quiet quitting juga dapat disebabkan oleh rendahnya sense of belonging individu dalam perusahaan.

Hal ini terjadi karena kurangnya keterhubungan karyawan satu sama lain maupun perasaan tidak menjadi bagian dari budaya dan nilai-nilai organisasi membuat individu cenderung kurang termotivasi dan enggan berpartisipasi secara aktif dalam pencapaian tujuan perusahaan. 

Dampak Quiet Quitting dalam Dunia Kerja

Fenomena quiet quitting dapat mempengaruhi banyak aspek dalam dunia kerja . 

Berikut dampak-dampak yang terjadi akibat quiet quitting dalam dunia kerja :

- Penurunan produktivitas yang disebabkan oleh rendahnya job satisfaction, individu merasa effort yang berlebih hanya sia-sia.

- Penurunan motivasi kerja

- Menurunnya minat kolaborasi

- Penurunan upaya berdaya saing yang juga berdampak pada penurunan inovasi dalam bekerja.

Bagaimana strategi individu mengatasi quiet quitting?

Serenko (2024) menyampaikan beberapa hal yang patut diperhatikan oleh pekerja mengatasi quiet quitting .

Pekerja perlu untuk menyiapkan beberapa hal yang dapat membantu meningkatkan motivasi dan semangat mereka dalam menjalani pekerjaan yang diembannya.

Pekerja perlu mengatur efisiensi kerjanya untuk mencapai hasil kerja yang memuaskan dengan waktu sesuai jam kerjanya tanpa mengharuskan penambahan jam kerja.

Pekerja juga perlu menemukan cara terbaik untuk mengatasi stres dan burnout.

Hal ini dapat membantunya untuk menyeimbangkan diri di tengah tekanan-tekanan yang muncul di tempat kerjanya.

Maka, upaya yang tepat untuk mencapai hal ini adalah dengan mengubah mindset bekerja menjadi lebih berorientasi pada hasil dan prestasi kerja.

Bagaimana perusahaan dapat mengukur motivasi karyawan?

 Di masa seperti sekarang ini, motif insentif atau finansial tidak lagi selalu menjadi dasar motivasi karyawan dalam bekerja.

Fenomena quiet quitting menunjukkan bahwa ada banyak aspek yang mendasari seseorang untuk memilih tetap bertahan bekerja atau meninggalkannya.

Hal ini diamini oleh Dr. Galang, bahwa kondisi dan iklim kerja di organisasi yag tidak kondusif turut mempengaruhi penurunan kinerja karyawan.  

Aspek-aspek ini yang menentukan mereka dalam menciptakan iklim bekerja di sebuah organisasi.

Iklim organisasi yang sehat tentunya akan mendorong individu di dalamnya menjadi pribadi yang produktif, terlibat, dan memiliki kepuasan atas proses kerjanya.

Maka, penting bagi perusahaan untuk melihat perspektif karyawan tentang iklim organisasi yang menaungi mereka.

 Alat ukur psikologi yang menggunakan perspektif karyawan terhadap lingkungan kerja, termasuk mengungkap aspek-aspek yang memengaruhi kondisi psikologis karyawan, salah satunya adalah Working Climate Assessment (WCA).

WCA mengukur aspek intrapersonal dan interpersonal yang memengaruhi iklim organisasi.

Dua aspek tersebut terbagi menjadi 7 sub-aspek, yakni autonomy, innovation, workload, job attachment, participation, acknowledgment, dan relationship.

WCA disajikan secara online sehingga dapat memudahkan pengguna untuk mengaksesnya di manapun dan kapanpun.

Dengan berbasis digital, hasil yang diperoleh melalui tes akan lebih akurat dan tepat mengukur iklim organisasi yang ada di perusahaan tersebut.

Jacaranda Consultant Indonesia menawarkan berbagai jenis asesmen sesuai kebutuhan perusahaan Anda, salah satunya adalah Working Climate Assessment (WCA).

Asesmen sebagai pencegah quiet quitting

Peran perusahaan juga merupakan bagian yang cukup penting untuk menyelesaikan permasalahan quiet quitting .

Seringkali, quiet quitting muncul karena banyaknya kinerja karyawan yang tidak terdeteksi dan terevaluasi dengan baik.

Perusahan tidak melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap hasil kerja karyawannya.

Tak hanya itu, perusahaan juga mungkin kurang komprehensif dalam melakukan asesmen di awal rekrutmen karyawan sehingga potensi dan kompetensi yang dimiliki kandidat kurang dapat terpotret dengan baik.

Hal ini rentan memunculkan berbagai dampak negatif yang berkepanjangan.

Maka, penting bagi perusahaan untuk melakukan deteksi dan penilaian secara berkala bagi para karyawannya. 

 Asesmen yang komprehensif dapat menjadi opsi untuk menyelesaikan permasalahan quiet quitting di perusahaan.

Asesmen dalam dunia kerja memungkinkan perusahaan untuk mengidentifikasi dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan dan motivasi karyawan.

Selain itu, potensi 1dan kompetensi karyawan juga akan terpotret dengan baik melalui asesmen yang memadai.

Maka, perusahaan dapat mengetahui secara detail mengenai keadaan karyawan yang dimilikinya.

 Melalui proses asesmen tersebut, perusahaan dapat merancang intervensi yang lebih tepat sasaran dan personal, meningkatkan kesejahteraan psikologis, kepuasan kerja, dan efektivitas kepemimpinan.

Selain itu, studi juga menunjukkan bahwa pendekatan berbasis asesmen dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih positif dan produktif, serta meningkatkan retensi karyawan (Cooper & Cartwright, 1994).

Dengan demikian, kemungkinan seseorang untuk menjadi “quiet quitters” akan semakin kecil sehingga individu dapat memberikan kontribusi dan produktivitas yang memuaskan bagi perusahaan. ( Tribunjogja.com )

Berita Terkini