TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pakar psikologi UGM, Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi mengungkapkan bahwa fenomena "barcode" yang muncul di kalangan remaja perlu diwaspadai.
Sebab, hal tersebut merupakan salah satu gejala mental illness.
Sekadar informasi, fenomena "barcode" atau upaya untuk menyakiti diri sendiri karena tekanan psikologis, mulai banyak dibicarakan para ahli.
Baca juga: Polres Kulon Progo Siapkan Operasi Mantap Brata Progo untuk Amankan Pemilu 2024
Rasa takut, kecemasan, hingga kesedihan berpotensi membuat seseorang ingin menyalurkan rasa sakit pada upaya tersebut.
Perilaku ini tentu sangat mengkhawatirkan, mengingat jumlah anak muda hingga dewasa yang berada dalam kondisi mental yang buruk dan tidak segera ditangani.
Menurut Nurul, fenomena nge-barcode berada dalam kategori NSSI (Non Suicidal Self Injury), tapi ini juga bisa migrasi secara perlahan ke SSI (Suicidal Self Injury).
"Ke depan ini sangat berbahaya. NSSI meskipun kita tidak boleh mengatakan akan cenderung ke suicide, fakta di lapangan itu berbeda," ungkap Nurul, yang juga merupakan peneliti Center for Public Mental Health (CPMH) Psikologi UGM.
Perilaku NSSI, meskipun dikatakan sebagai solusi dari masalah yang dihadapi, justru bersifat manipulatif. Satu sisi lainnya, NSSI dapat menjadikan seseorang terbiasa akan pola pikir instan dalam menyelesaikan konflik.
Terdapat lima tahap dampak yang terjadi setelah melakukan self-injury, dan kelimanya membentuk sebuah pola siklus berulang.
Ketika seseorang menghadapi konflik dan tekanan, lalu memilih perilaku NSSI sebagai solusi, timbul pikiran negatif setelah melakukannya.
Rasa malu, kecemasan, tingkat kemarahan, merupakan contoh emosi negatif yang banyak berkembang pada pelaku self-injury.
Setiap tahap menunjukkan peningkatan emosi ini, hingga menjadi sebuah pola pikir.
Pada akhirnya, seseorang akan merasa tidak dapat keluar dari masalah.
Data mengungkapkan, sebanyak 36,9 persen masyarakat Indonesia pernah melakukan upaya menyakiti diri sendiri dengan sengaja. Jumlah ini banyak didominasi oleh kelompok usia muda, yakni 18-24 tahun, dengan persentase sebesar 45 persen.
Sayangnya, mayoritas dari angka tersebut tidak memiliki kesempatan untuk mendapat penanganan dengan baik, hingga menjadikan perilaku nge-barcode sebagai perilaku maladaptif.