Kisah Bakul Sayur dan Sapu Lidi di Klaten Naik Haji, Resepnya Rajin Menabung dan Rutin Salat Tahajud

Penulis: Almurfi Syofyan
Editor: Muhammad Fatoni
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mursidah (kanan) bersama anak tertuanya, Sri Murjiyanti (kiri), saat ditemui di rumahnya di Keprabon, Polanharjo, Klaten, Rabu (24/5/2023).

Di istananya itu, Mursidah tinggal seorang diri.

Namun empat anaknya yang sudah berkeluarga masing-masing, masih tinggal di desa tersebut.

Setiap hari, masih sering mengunjunginya untuk memastikan kondisi Mursidah.

Adapun suami Mursidah meninggal dunia pada tahun 1999 silam.

Mursidah, berjualan sayur pada pagi hari. Ia pergi ke pasar setelah selesai salat subuh dan membeli sayur dan sapu lidi.

Sayur dan sapu lidi itu, ia jual kembali keliling kampung dengan menggunakan sepeda onthel.

Satu ikat sayur dijual Rp3000 hingga Rp4000. Adapun satu ikat sapu lidi dijual Rp6000.

Keuntungan dari penjualan itu disisihkan setiap hari untuk uang muka biaya naik haji.

Mursidah, mulai mendaftar untuk naik haji pada tahun 2012.

Saat itu, nenek tujuh cucu itu membayar uang sebesar Rp25 juta.

"Uang itu simpanan ibu dari menabung. Sisanya sedikit ditambah anak-anak," ujar anak tertua Mursidah, Sri Murjiyanti (44) saat ditemui TribunJogja.com.

Ia mengatakan, biaya pelunasan perjalanan haji sudah dilunasi oleh Mursidah. Untuk biaya pelunasan sekitar Rp24 juta.

Uang pelunasan haji itu merupakan uang tabungan Mursidah sendiri.

Artinya, untuk berangkat haji, Mursidah mengeluarkan biaya hingga Rp49 juta.

Dikatakan Sri Murjiyanti, ibunya sempat diserempet sepeda motor saat hendak pergi ke pasar pada tiga tahun lalu.

Mulai saat itu, anak-anak Mursidah meminta ibunya untuk tidak berjualan sayur keliling lagi.

Namun, berjualan sapu lidi dan garam di rumahnya dan di perkampungan dekat rumah saja.

Ia berharap, perjalanan ibadah haji ibunya bisa berjalan lancar dan dimudahkan hingga bisa pulang kembali ke tanah air dalam keadaan sehat wal afiat. 

( tribunjogja.com/ almurfi syofyan )

Berita Terkini