TRIBUNJOGJA.COM - Enam anggota Satresnarkoba Polrestabes Makassar dinyatakan terbukti melanggar kode etik terkait kematian target operasi (TO) kasus narkoba, Muhammad Arfandi Ardiansyah (18).
Pelanggaran kode etik seperti apa, Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Polisi Komang Suartana mengatakan para anggota tersebut lalai dalam mengamankan tersangka.
Menurutnya, perihal dugaan penganiayaan terhadap Arfandi masih dalam proses propam.
Namun terkait hal itu, katanya, enam anggota Polrestabes Makassar lalai dalam melaksanakan tugas.
Baca juga: Pengakuan Getir Ayah Remaja yang Tewas Setelah Ditangkap Polisi di Makassar: Jenazahnya Babak Belur
Diberitakan sebelumnya, Arfandi, warga Jalan Kandea 2, Kelurahan Bunga Eja Beru, Kecamatan Tallo, Kota Makassar tewas setelah ditangkap anggota Polrestabes Makassar terkait kasus dugaan narkoba, Senin (15/5/2022) dinihari.
Sekujur tubuh Arfandi penuh luka memar lebam diduga penganiayaan dan penyiksaan. Orangtuanya tak terima karena setelah melihat jenazah putranya dalam kondisi babak belur seperti korban penganiayaan.
Reaksi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
Menanggapi kejadian yang menimpa Arfandi, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendorong pemerintah merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu memandang, praktik petugas yang mengakibatkan kematian seseorang mustahil dihilangkan jika tidak ada perubahan mendasar melalui revisi KUHAP.
Revisi ini, menurutnya, sebagai usaha untuk mengakhiri akar penyebab masalah tersebut, karena kewenangan kepolisian yang begitu besar untuk melakukan penahanan tanpa ada mekanisme pengawasan yang ketat.
“Terlebih ketika kantor kepolisian juga digunakan sebagai tempat penahanan,” kata Erasmus dalam keterangan tertulis, Rabu (18/5/2022).
Baca juga: Perwira dan 7 Anggota Polrestabes Makassar Diperiksa Terkait Remaja Tewas Setelah Ditangkap Polisi
Erasmus menjelaskan, Pasal 22 Ayat (1) KUHAP dan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP menyebutkan bahwa penahanan di kantor kepolisian hanya diperbolehkan dilakukan apabila di daerah tersebut belum terdapat rumah tahanan negara.
Artinya, penahanan kepolisian bersifat sementara dan bukan suatu hal yang biasa.
Erasmus mengatakan, ketika penahanan dilakukan di kantor kepolisian, kontrol penuh terhadap tersangka ada di tangan penyidik dengan kepentingan penegakan hukum guna memperoleh bukti untuk memperkuat perkaranya.
Dalam kondisi seperti itu, tidak dapat dipungkiri kekerasan, mulai yang dilakukan secara verbal dalam bentuk intimidasi hingga fisik, sangat rentan terjadi.