Kisah-kisah Anak Adopsi Mencari Sang Orang Tua di Yogyakarta

Penulis: Ardhike Indah
Editor: Iwan Al Khasni
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sampul koran Tribunjogja.com edisi liputan khusus pencarian anak adopsi

Tribunjogja.com Yogyakarta -- Tahun 1978-1983 menjadi periode di mana sebagian anak di Indonesia diadopsi oleh Warga Negara (WN) Belanda dan Eropa pada umumnya.

Yayasan Mijn Roots, organisasi non-profit yang membantu anak adopsi asal Belanda mencari orang tua kandung di Indonesia, mengira setidaknya ada 3.000 anak diadopsi di periode tersebut.

Saat itu, Robbert Geertzema masih berusia 6 bulan di tahun 1978 ketika ia pertama kali diadopsi orang Belanda. Ia lahir di Rumah Sakit (RS) Bethesda Yogyakarta, 1 Juni 1978 dengan nama Yunanto atau Junanta.

Dua tahun setelah Robbert diadopsi, Yustine Alvares (nee White) juga masih berusia 6 bulan, ketika orang tua angkatnya membawa dia ke negeri kincir angin dari Yogyakarta.

Bayi Yustine kala itu sudah diberi nama Yustina dan sempat tinggal di Yayasan Kasih Sayang Anak di Jalan Samirono No 16, Depok, Sleman.

Berbeda dengan lainnya, Emmanuella Tanzil diadopsi oleh WN Indonesia berdomisili di Jakarta. Usia Emmanuella masih 7-8 bulan di tahun 1985 ketika ia menginjakkan kaki di ibu kota.

Sebelum bernama Emmanuella, ia sempat memiliki nama Theresia atau Teresa. Sang ibu angkat itu kemudian menikah dengan warga negara asing. Sekarang dia hidup di Inggris.

Ketiga orang tersebut disatukan oleh agenda yang sama. Mereka mencari orang tua kandung di DI Yogyakarta setelah lebih kurang 35-40 tahun terpisah jarak.

Beberapa waktu ini, Robbert, Yustine, dan Emmanuella meluangkan waktu untuk melakukan riset dan menyebarkan informasi di internet tentang pencarian orang tua kandungnya. Mereka berharap bisa menemukan kerabat untuk mengetahui akar kehidupan dan menggenapi rasa penasaran.

Terkoneksi

Robbert Geertzema begitu antusias tatkala menceritakan proses pengadopsian dirinya. Ia berharap, kisah yang dibagikan bisa membantu dirinya menemukan orang tua di Yogya.

Ia tentu saja tidak ingat bagaimana prosesnya, tapi orang tua dan keluarga Geertzema tetap berterus terang tentang adopsi tersebut.

“Saya sampai di Belanda pada bulan Januari 1979, itu cukup sulit untuk saya,” ungkap Robbert kepada Tribun Jogja.

Kesulitan Robbert bukan tanpa sebab. Ia merasa tidak seperti orang Belanda pada umumnya. Kulit Robbert sama seperti orang Indonesia, berwarna sawo matang dan berambut hitam. Warna matanya juga hitam dengan batang hidung cukup tinggi.

Robbert juga merasa tidak cukup dekat dengan dua orang tua angkat. Ia selalu merasa mereka tidak bisa memahami dirinya.

Halaman
1234

Berita Terkini