Kisah Inspiratif

Demi Dapatkan Sinyal Internet, Mahasiswa dan Pelajar di Magelang Terpaksa 'Ngemper' di Pinggir Jalan

Penulis: Rendika Ferri K
Editor: Gaya Lufityanti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Teara Noviyanti Sekar Melati (tengah); adiknya, Siti Salma Putri Salsabila (kanan) dan sepupunya, Fitri Zahrotul Mufidah (kiri), saat belajar dan kuliah daring di pinggir jalan di Desa Bigaran, Borobudur, Kabupaten Magelang, Selasa (21/7/2020).

Laporan Reporter Tribun Jogja, Rendika Ferri K

TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - Sebagian mahasiswa atau pelajar di sini pasti pernah merasakan privilege belajar atau kuliah daring dengan nyaman dan tanpa gangguan.

Mungkin dengan duduk di kafe berpenyejuk udara dan sambungan internet yang cepat, menikmati cemilan dan minuman hangat, sembari belajar atau mengikuti kuliah daring.

Atau, setidaknya memiliki rumah atau di tempat lain yang layak untuk belajar.

Namun kenyataannya, tak semua pelajar maupun mahasiswa di sini punya privilege semacam itu.

Banyak mereka yang tinggal di tempat yang agak pelosok, di daerah pegunungan yang sinyal saja susah, jarak menuju ke kota yang jauh dan akses terhadap fasilitas belajar yang terbatas.

Ratusan Guru PAUD DIY Ikuti Kelas Daring “Rumahku Adalah Sekolahku”

Seperti yang dialami sendiri oleh Teara Noviyanti Sekar Melati, mahasiswa semester II, Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Magelang (UMMgl).

Gadis berusia 19 tahun itu setiap hari harus duduk di pinggir jalan, hanya untuk mencari sinyal internet di atas perbukitan Menoreh di Desa Bigaran, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, untuk kuliah secara daring.

Ia ditemani adiknya, Siti Salma Putri Salsabila (13), siswa kelas 2 MTs Negeri 1 Magelang dan saudara sepupunya, Fitri Zahrotul Mufidah (15), kelas 1 SMK Maarif 1 Ngluwar, yang juga belajar daring.

Setiap hari sejak bulan Maret 2020 lalu, sejak pandemi membuat seluruh pelajar dan mahasiswa belajar dan berkuliah secara daring, mereka belajar di pinggir jalan itu. 

Hanya di lokasi itulah, sinyal internet dapat diakses.

Tidak ada akses internet lain, kecuali di Balkondes yang tidak setiap waktu dapat diakses, sementara di tempat lain di kota, tempatnya termasuk jauh.

"Sejak ada Corona itu, kami selalu belajar di sini. Sejak Bulan Maret 2020. Setiap pagi dan tergantung jadwal kuliah. Biasanya sehari, ada dua kali kuliah daring. Seminggu, lima hari kuliah daring. Kami belajar di sini, karena memang hanya ada di sini sinyal internetnya. Ada wifi di Balkondes, tetapi memang tidak bisa setiap waktu bisa diakses. Sementara, jadwal pelajaran dan kuliah biasanya saat pagi, bahkan malam-malam harus ke sini untuk download tugas atau materi kuliah," kata Teara, di sela-sela mengikuti kuliah daring, Selasa (21/7/2020).

Riwayat Tiga Positif Baru di Kabupaten Magelang, Ada yang Bekerja di RS UNS

Setiap pagi, sekitar pukul 07.30 WIB, Teara, adik dan sepupunya berangkat dari rumahnya di Dusun Nalan II, Desa Kenalan, Kecamatan Borobudur.

Dengan mengendarai sepeda motor, mereka menyusuri jalanan kampung yang menyambungkan wisata Gunung Gondopuro Wangi ke Pasar Jagalan, menuju tempat belajar atau kuliah secara daring di pinggir jalan di Desa Bigaran, Borobudur.

Sekitar satu kilometer jaraknya dari rumah.

Hari itu, Selasa (21/7/2020), sebelum berangkat, seperti biasa Teara berpamitan dengan ibundanya, Kumara Yani.

Ia juga tak lupa minta restu, karena hari ini ia khusus mengikuti Assesment Akhir Semester atau Ujian Akhir Semester.

Malam hari sebelumnya, ia memang sudah belajar di rumah dengan materi-materi kuliah yang ia unduh sebelumnya.

Setibanya di lokasi belajarnya, Teara langsung memarkirkan kendaraannya dan menggelar laptop, buku, alat tulis, dan laptop di pinggir jalan.

Ujiannya dimulai sekitar pukul 08.00 WIB pagi.

Tampak kendaraan baik sepeda motor maupun mobil, berlalu lalang melewati jalan antara dusun tersebut.

Guru PAUD Hadapi Permasalahan Kompleks Selama Pandemi, Orang Tua Tak Siap Hadapi Pembelajaran Daring

Sesekali, ia menyapa tetangga maupun saudaranya yang lewat menggunakan kendaraan bermotor, menyapa Teara, adik dan sepupunya sembari memberi suara klakson.

Malam harinya, ia sudah belajar untuk materi ujian hari ini.

Ia pun tampak tak kesulitan mengerjakan soal ujian tadi.

Sekitar 15-20 menit saja, ia berhasil menyelesaikan soal ujian dan langsung mengunggahnya ke e-learning.

Sementara, adik dan sepupunya menggunakan gawai atau smartphone untuk menggarap tugas dari guru secara online.  

Meski harus belajar di pinggir jalan, tak tampak lelah dari raut wajah mereka.

Sesekali, Teara bercanda gurau dengan adik dan sepupunya, untuk mengusir penat.

Kalau jam pelajaran atau kuliah panjang, mereka juga sudah persiapan bekal.

MPLS di Klaten Dilakukan Secara Daring Selama Pandemi

Kadang, Teara membawa minuman.

Kadang juga, ibunya yang datang dan membawakan mereka cemilan, sembari mereka belajar.

Kendala dalam belajar pastilah ada.

Terlebih saat harus belajar di pinggir jalan seperti Teara, adik dan sepupunya.

Saat musim hujan, ia kehujanan.

Saat musim kemarau, kepanasan.

Apalagi saat harus belajar di jadwal siang, pas udara terik.

Ada lagi saat jadwal belajar dan kuliah dari dosen yang berganti mendadak.

Beberapa kali saat malam hari, Teara pun harus ke sana, hanya untuk mengirim tugas kuliah.

Meskipun gelap, ia pun memberanikan diri ke spot tersebut.

Ia kadang ditemani adiknya, Salma atau neneknya.

Mengirim tugas di atas sepeda motor yang masih menyala untuk penerangan.

"Pernah kehujanan. Tetapi saya sudah membawa payung. Waktu itu menunggu reda, tetapi akhirnya telat masuk kuliah daringnya. Jadi hanya kebagian akhir-akhir saja. Kalau panas sih tidak apa-apa, sudah biasa. Ada lagi pas dosennya jadwalnya ganti dadakan. Sementara saya tidak tahu, karena di rumah off dan tak ada sinyal," ujarnya.

Kuliah Daring Mahal, Forum Rektor Indonesia Minta Pemerintah Tanggung Biaya Internet

Kadang-kadang, mereka juga was-was kalau-kalau ada orang yang berniat jahat.

Paman dari Teara sempat melarangnya belajar di pinggir jalan seperti itu.

Namun, ia tidak mempunyai pilihan lain karena di tempat itulah ia bisa belajar.

Bermodalkan keberanian, ia belajar daring di sana.

Ibu Teara pun mewanti-wanti agar dirinya selalu berhati-hati saat belajar di sana.

"Ibu bilang, sing penting ati-ati. Misal ada orang yang tak dikenal, saya harus siap bawa kunci motor, biar langsung gas. Barangkali ada yang berniat jahat. Pernah ada orang tanya arah, saat itu saya masih ikut kuliah daring menggunakan zoom. Teman-teman sempat khawatir karena saya berbicara dengan orang asing, tetapi alhamdulillah sampai saat ini lancar," tutur putri sulung dari Sutedjo dan Kumara Yani itu.

Kalau berangkat kuliah daring, Teara juga harus bersiap-siap dulu.

Ia membawa laptop, buku, handphone, kabel data, dan alat tulis.

Kalau jam kuliah agak lama, ia harus mengecas laptopnya hingga full terlebih dulu di rumah.

Paling lama, ia kuliah daring dari pukul 07.00 WIB pagi hingga pukul 14.00 WIB sore hari.

Seharian ia memantengi laptop dan mengerjakan tugas di sana.

Hari Pertama Tahun Ajaran Baru di Tengah Pandemi Corona, Sekolah Gelar MPLS Secara Daring

"Seminggu, lima hari saya kuliah daring. Setiap pagi ke sini. Tak tentu, tergantung jadwal kuliah. Mulai pukul 07.00, 08.00, dan bahkan saat hari Kamis itu full. Pernah pukul 07.00 sampai pukul 14.00 sore. Di sini. Duduk di pinggir jalan, mantengin laptop garap tugas, kepanasan. Awalnya, memakai alas kardus, sekarang ya cuma duduk di sini saja. Kadang bawa bekal dari rumah. Kadang disusul sama ibu. Ibu tahu titiknya di sini. Orang-orang sini pada tahu, kalau mencari sinyal di sini," kata Teara.

Ayahnya bekerja sebagai petugas security di Semarang dan ibunya sebagai ibu rumah tangga biasa.

Kondisi seperti ini dirasakan Teara sangat berat.

Pertama, ia kesulitan sinyal yang susah di tempat tinggalnya.

Jadwal mata kuliah yang bergonta-ganti tak tentu.

Usai kuliah, tugasnya tentu banyak sekali dan mengerjakan itu semua memerlukan sambungan internet.

Sementara di sana, ia susah sinyal.

Tempat tinggalnya yang pelosok dan agak jauh dari mana-mana.

Ia pun kadang harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli kuota internet.

Sebulan itu, ia menghabiskan Rp 50 ribu.

Uang sebesar itu juga dirasakannya masih kurang, karena tak sampai sebulan kuota internet sudah habis.

"Berat banget. Pertama, karena sinyal susah. Jadwalnya kadang gonta-ganti gak menetap. kadang tahu pun kalau sudah selesai kuliahnya. Tugasnya tentu banyak sekali. Tugas itu pun harus membutuhkan internet untuk mencari informasi dan browsing di internet. Sementara di sini, susah sinyal. Pulsa internet itu Rp 50 ribu untuk sebulan. Ada bantuan pulsa,tetapi itu untuk potongan SPP.  Sehingga sama aja, saya harus membeli. Kadang kuota itu juga tidak bertahan sebulan," tutur Teara.

Teara pun berharap ada sambungan internet yang dapat diakses olehnya dan teman-temannya supaya mereka dapat belajar dengan tenang.

Misal dari pemerintah, pihak kampus, yang dapat memberikan fasilitas itu, sehingga banyak dari rekan-rekannya, sesama pelajar maupun mahasiswa, yang kesulitan sinyal dan koneksi internet di sana dapat terbantu.

"Kami berharap ada wifi yang bisa diakses buat saya dan teman-teman. Adik-adik yang sedang sekolah. Free wifi, yang dapat diakses. Entah dari pemerintah atau kampus atau pihak manapun yang bisa membantu menyediakan. Karena tidak hanya saya, tapi  teman-teman saya banyak yang kesulitan sinyal," keluh Teara.

Soal kuliah daring di pinggir jalan, Teara mengaku pihak kampus sudah menghubunginya.

Ia sudah dihubungi oleh kepala program studi, dosen, dan bahkan dekan, menanggapi masalah tersebut.

Teman-teman kuliahnya pun juga bersimpati dengan kondisi yang dihadapinya.

Sebagian menawarkan Teara dapat mampir ke rumah mereka dan kuliah daring bersama-sama di sana.

"Teman-teman sangat bersimpati, menawarkan saya untuk ke rumahnya, tetapi memang lokasinya yang jauh. Paling dekat juga Borobudur, daerah Tuksongo. Seringnya di situ, tetapi saya merasa tak enak kalau tiap hari ke sana bertamu. Saat pagi, berangkatnya juga harus pagi-pagi sekali. Belum persiapannya. Jadi saya berpikir, sepertinya lebih efektif jika di sini," tuturnya.

Sementara itu, Adik perempuan Teara, Siti Salma Putri Salsabila (13), pelajar kelas 2 MTs Negeri 1 Magelang, ikut belajar bersama kakaknya di pinggir jalan.

Ia mengaku kesulitan sinyal saat belajar di rumah, sehingga ia memutuskan belajar daring di tempat tersebut.

Kegiatan ini sudah ia lakukan sejak bulan Maret 2020, saat sekolah memberlakukan pelajaran daring.

"Di rumah tidak ada sinyal. Yang ada sinyal, hanya di sini. Ya sudah di sini mencari sinyalnya. Bersama kakak belajar di sini. Saya sekolah daring dari Maret, karena ada corona dan lockdown, terus di sini. Di sini, saya mengerjakan tugas pelajaran seperti biasa. Awalnya sehari lima mata pelajaran, tapi di tahun ajaran baru ini sehari bisa 3-5 mata pelajaran," kata Salma.

Saat belajar di sana, Salma memang merasa kurang berkonsentrasi. Banyak kendala, baik cuaca saat hujan, bahaya lain.

Ia berharap ada sambungan internet dan tempat layak untuknya bisa belajar daring dengan nyaman.

Tak hanya untuknya, tetapi juga teman-temannya di sana yang juga kesulitan belajar daring.

"Konsentrasi terganggu. Kalau panas, kepanasan. Kalau hujan, kehujanan. Terus bahaya juga. Harapan, ada wifi buat kita, karena banyak di desa sini yang butuh, banyak teman-teman yang kesulitan dengan daring. Di sini kesulitan sinyal dan jaraknya yang jauh dari tempat mana-mana," pungkas Salma. (TRIBUNJOGJA.COM)

Berita Terkini