Kisah Tragedi Kereta Blondo

Napak Tilas Tragedi Blondo: Saat Dua Kereta Uap Bertabrakan di Magelang, Korban Bergelimpangan

Penulis: Setya Krisna Sumargo
Editor: Mona Kriesdinar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Foto hitam putih memperlihatkan rangkaian kereta uap yang saling bertabrakan di Blondo, Magelang

Kisah Tragedi Blondo: Saat Dua Kereta Uap Tabrakan di Magelang, Korban Jiwa Bergelimpangan

Laporan Reporter Tribun Jogja, Setya Krisna Sumarga dari Magelang

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Sejarah hitam ini sudah hampir lenyap dari ingatan warga sekitar Blondo, Kabupaten Magelang. Lebih-lebih bagi warga Jawa Tengah atau Indonesia umumnya.

(Gulir ke bawah untuk Menyaksikan Videonya)

Sejarah itu berupa tabrakan frontal dua rangkaian loko dan kereta api uap dari dua arah berlawanan. Peristiwanya terjadi tahun 1943 sekitar pukul 11.00, persis di Dusun Pare, selatan jembatan kereta api Blondo yang melintang di atas Kali Elo.

Titik lokasi ini ada di sebelah kiri jalan raya Yogya-Magelang jika dari arah Blabak.

Saat ini bekas lokasi kecelakaan di Dusun Pare, sudah dipenuhi bangunan tempat tinggal, warung yang berdiri di atas lahan milik PT KAI.

“Orang sini menyebutnya sepur tumbuk Mas,” kata Pak Upan, warga Dusun Blondo, Magelang, Jawa Tengah, Jumat (2/8/2019).

“Tabrakan dua kereta api uap yang konon mengerikan,” tambahnya.

Lima Fakta Miris Tragedi Bintaro, Nomor Dua Bikin Merinding

Pak Upan usianya sekarang 49 tahun. Ia tidak tahu apa-apa tentang tragedi berpuluh-puluh tahun lalu itu, kecuali cerita turun temurun yang didengarnya dari orang tua, kakek nenek, dan tetua-tetua kampung.

Percakapan berlangsung persis di depan rumah keluarga Mbah Chomsin, di dusun yang sama yang letaknya di sebelah barat laut Jembatan Kali Elo di daerah Blondo. Wilayah ini terletak di antara Blabak dan Mertoyudan.

Mbah Chomsin ini saksi hidup terakhir yang masih sempat bisa bercerita langsung dua tahun lalu.

Kisah Kehidupan Masinis Kereta Api Tragedi Bintaro, Kini Dia Bertahan Hidup dengan Berjualan Rokok

Sayang, setahun lalu Mbah Chomsin meninggal dunia.

Cucunya yang ditemui hanya menggelengkan kepala saat ditanya tentang cerita tragedi Blondo.

Warga Dusun Blondo lain, serta para pemukim yang kini mendiami bekas jalur kereta di sebelah selatan Jembatan Blondo, umumnya hanya tahu di lokasi itu pernah terjadi kecelakaan kereta api.

Ini Penyebab Tragedi Bintaro Menurut KNKT

Detail ceritanya, mereka tidak pernah tahu. Apalagi melihat secara langsung bukti-bukti foto sesudah kejadian.

“Kami sama sekali tidak tahu, kecuali pernah dengar cerita lisan dari beberapa orang,” kata Rahmat, seorang warga di selatan Jembatan Blondo.

Bagus Priyana, Koordinator Komunitas Kota Tua Magelang (KKTM) lah yang dua tahun lalu bertemu Mbah Chomsin ini.

Ini Cerita Dibalik Tragedi Bintaro 1

“Waduh, sayang ya, kita sudah tidak bisa ketemu lagi dengan beliau,” kata Bagus.

Nah, lalu dari mana kisah hitam sejarah perkeretaapian jalur Yogya-Magelang sebelum Indonesia merdeka itu didapat? Seperti apa ceritanya? Bagaimana sekarang kondisi riil lokasi kejadian?

Foto hitam putih memperlihatkan rangkaian kereta uap yang saling bertabrakan di Blondo, Magelang (Koleksi Bagus Priyana (KTM))

Dari Bagus Priyana pula akhirnya fakta sejarah itu diperoleh. Dokumentasi foto sesudah tabrakan frontal dan suasana evakuasi juga didapatkan.

“Ini foto-foto saya peroleh dari teman di Yogya,” ungkap Bagus.

Foto hitam putih memperlihatkan rangkaian kereta uap yang saling bertabrakan di Blondo, Magelang (Koleksi Bagus Priyana (KTM))

“Kalau dihitung sekarang, dah bisa dipakai beli motor,” lanjutnya saat mengantar Tribunjogja.com napak tilas ke sekitar Jembatan Blondo, lokasi bersejarah yang mengingatkan petaka 76 tahun lalu itu.

Bagus Priyana mengaku, ia mendapatkan cerita cukup rinci dari narasumbernya yang tinggal di Muntilan, Magelang, sekitar 10 tahun lalu.

Foto hitam putih memperlihatkan rangkaian kereta uap yang saling bertabrakan di Blondo, Magelang (Koleksi Bagus Priyana (KTM))

Narasumber ini sangat penting karena dia adalah putra Kepala Stasiun Kereta Api Blabak, Magelang, saat peristiwa itu berlangsung.

Sang kepala stasiun bahkan disebut punya andil atas tabrakan adu kepala dua kereta uap milik perusahaan Belanda itu.

Foto hitam putih memperlihatkan rangkaian kereta uap yang saling bertabrakan di Blondo, Magelang (Koleksi Bagus Priyana (KTM))

Menurut Bagus, narasumbernya itu bernama Soekardjo Mangoenwidjojo. Ia sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu.

Cerita lisan Soekardjo dicatat dalam buku kecil Bagus Priyana, dan jadi sumber keterangan sejarah penting Magelang yang disimpannya.

Menurut cerita turun temurun warga Blondo, korban manusia bergelimpangan dan diletakkan di tepi jalan sesaat sesudah kejadian.

Tidak diketahui dan belum diperoleh catatan tertulis berapa korban jiwa pada kecelakaan maut ini.

Perbandingan foto kini dan dahulu ketika terjadinya tragedi kecelakaan tabrakan kereta di Blondo, Magelang (TRIBUNJOGJA.COM | Setya Krisna Sumarga)

Foto-foto yang dimiliki Bagus, tidak menunjukkan suasana evakuasi sesaat setelah tabrakan.

Dokumentasi foto hitam putih itu memperlihatkan suasana relative tenang, warga yang menonton duduk-duduk di dekat jalur kereta.

Sedangkan sejumlah orang berkulit putih mengenakan baju safari, berdiri meninjau kereta yang terguling.

Mereka didampingi beberapa pria bersurjan dan mengenakan blankon serta keris. Tidak ada keterangan pasti siapa mereka, kecuali dugaan orang-orang itu pejabat penting perusahaan kereta dan pemimpin-pemimpin lokal di Muntilan dan Magelang.

Perbandingan foto kini dan dahulu ketika terjadinya tragedi kecelakaan tabrakan kereta di Blondo, Magelang (TRIBUNJOGJA.COM | Setya Krisna Sumarga)

“Saya mendapatkan cerita dari warga, konon jenazah seorang masinis kereta dimakamkan tak jauh dari lokasi kecelakaan ini. Tapi jejak nyatanya saya belum menemukan,” imbuh Bagus sembari menambahkan ‘bunga-bunga’ cerita versi warga.

TRAGEDI BINTARO : Kecelakaan Kereta Api Terburuk di Indonesia

“Konon, sesudah tragedi itu terjadi, selama sekian bulan suara-suara rintihan dari para korban kecelakaan tersebut masih terdengar menyayat hati,” ujar pendiri komunitas sejarah dan Tenaga Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Magelang ini.(Tribunjogja.com/Setya Krisna Sumarga)

Berita Terkini