Kisah Kehidupan Masinis Kereta Api Tragedi Bintaro, Kini Dia Bertahan Hidup dengan Berjualan Rokok

Ia tinggal di Dusun Krajan Kidul, Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Purworejo, bersama seorang istri dan tiga anaknya.

Penulis: say | Editor: Muhammad Fatoni

TRIBUNJOGJA.COM - Hari ini 29 tahun lalu, tepatnya tanggal 19 Oktober 1987, sebuah kecelakaan tragis yang tak akan terlupakan dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia terjadi.

Dua kereta api sarat penumpang saling bertabrakan, sehingga menimbulkan korban tewas hingga ratusan orang.

Kecelakaan tersebut terjadi karena unsur kelalaian manusia. Seharusnya, KA 225 yang ditarik lokomotif BB306 16 dan KA 220 yang ditarik lokomotif BB303 16 bersilang di stasiun Sudimara.

[Berita lainnya : Kapolda Menyamar Lalu Langgar Lalu Lintas, Beneran! Tak Lama Dia Langsung "Dipalak" oleh Anggotanya]

Bila sesuai jadwal, harusnya KA 225 sampai di stasiun tersebut pada pukul 6.40, tetapi terlambat lima menit. Saat itu, sudah ada kereta barang di jalur 2 sehingga KA yang dimasinisi Slamet Suradio masuk ke jalur 3.

Oleh karena penuh, maka rencana persilangan di staiun tersebut sangat mustahil sehingga dialihkan ke stasiun Kebayoran.

Entah siapa sebenarnya yang salah komunikasi, tetapi Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) justru membuat surat pemindahan tempat persilangan (PTP) ke masinis KA 225.

Padahal seharusnya, PPKA meminta izin terlebih dahulu ke stasiun Kebayoran. Saat meminta izin, masalah itu juga dianggap gampang oleh Kebayoran.

Akibatnya, dua kereta itu sama-sama melaju dan bertabrakan secara tragis di daerah Pondok Betung, Bintaro. PPKA yang mencoba menghentikan laju kereta KA 225 gagal, kemungkinan karena terhalang banyaknya penumpang.

Setelah tragedi itu, masinis KA 225, Slamet dipenjara lima tahun. Ia harus kehilangan pekerjaan dan tak menerima uang pensiun karena diberhentikan dengan tidak hormat.

Setelah ke luar dari penjara, Slamet mengaku tak memiliki tujuan untuk pulang. Pasalnya, istrinya justru direbut rekan sesama masinis saat ia ada di penjara.

Bagaimana nasib pria kelahiran 18 Agustus 1939 itu kini, terekam kamera komunitas pecinta kereta api yang datang ke rumahnya.

Ia tinggal di Dusun Krajan Kidul, Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Purworejo, bersama seorang istri dan tiga anaknya.

Saat ini, Slamet bertahan hidup dengan berjualan rokok. Istrinya yang bekerja sebagai buruh tani diakui Slamet sangat membantu kehidupan keluarganya.

Bila hanya dari penjualan rokok, Slamet yakin tidak mungkin bisa bertahan hidup.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved