Beginilah Suasana Bulan Puasa di Era Kolonial Belanda
TRIBUNJOGJA.com - Dosen Sejarah IAIN Surakarta, Martina Safitry, menggambarkan bagaimana suasana bulan puasa saat era kolonial Belanda di Indonesia. Menurut dia, meskipun Belanda saat itu masih memiliki kontrol terhadap sistem pemerintah Indonesia, akan tetapi umat Muslim di Indonesia masih diberikan keleluasaan dalam menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinan.
Sama seperti masa sekarang, perdebatan mengenai penentuan awal Ramadhan juga telah ada sejak dulu kala. Pada masa sekarang, penentuan awal Ramadhan ditentukan dengan perhitungan hisab dan rukyat yang dipimpin Kementerian Agama. Namun, pada masa penjajahan pihak yang menentukan awal Ramadhan adalah Perhimpoenan Penghoelo dan Pegawainya (PPDP) atau lebih dikenal Hoofdbestuur.
Meski demikian, ternyata dua organisasi Islam terbesar di Indonesia. Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) memiliki Hoffbestuur-nya sendiri. Lembaga itu juga memiliki peran besar terhadap penentuan awal Ramadhan.
"Kedua belah pihak menentukan perhitungan dengan caranya masing-masing," kata Martina mengawali diskusi yang digelar Rumah Budaya Kratonan bekerja sama dengan IAIN Surakarta pada Sabtu (11/5/2019) sore.
Kabar ini juga dipertegas dalam berita yang terekam dalam koran Berita Nahdlatul Ulama (BNO) edisi 1 November 1937 yang memuat maklumat Awal Ramadhan 1356 Hijriah. Selain penetapan melalui mekanisme tersebut, ternyata awal Ramadhan juga disambut masyarakat dengan bunyi-bunyian yang sangat keras.
"Jadi dengan meriam, petasan, mercon dan anak-anak bikin menggunakan pelepah pisang. Pokoknya bunyian yang keras-keras untuk menandakan awal Ramadhan," ucap Martina.
Tak hanya ada di Jawa, tradisi seperti ini juga ada di Sumatera, terutama Sumatera Utara yang terdengar tiga kali tembakan meriam menandai awalnya bulan Puasa.
Libur sekolah
Selain tradisi penentuan awal Ramadhan yang dikaitkan dengan bunyi-bunyian keras, ternyata pada masa penjajahan juga telah ada tradisi libur sekolah selama Ramadhan. Pada masa Kolonial Hindia Belanda, ada wacana untuk meliburkan sekolah selama Ramadhan. Langkah ini merupakan usulan dari Dr N Adriani selaku Penasehat Urusan Bumiputra.
"Dr Adriani sangat memperhatikan umat Islam ketika itu dan memberi saran kepada Directuur Dienst der Onderwijs, Eeredienst an Nijverheid (Kepala Departemen Pendidikan, Keagamaan dan Kerajinan) untuk meliburkan sekolah-sekolah," ujar Martina.
Usulan ini akhirnya disetujui. Sekolah seperti HIS (Holllandsch-Inlandsch School), HBS (Hogere Burger School), AMS (Algemeene Middelbare School), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan lainnya diliburkan karena mayoritas muridnya beragama Islam.
Ketika masa libur, anak-anak menghabiskan aktivitasnya untuk melakukan banyak kegiatan seperti membantu orangtua, memancing ikan, shalat di masjid, mengaji, dan lebih banyak fokus terhadap kegiatan keagamaan.
Setelah momentum satu bulan dilaksanakan, tibalah saatnya pada hari yang begitu dinantikan, yaitu shalat Idul Fitri. Pemerintah Kolonial baru mengizinkan shalat ied berjemaah secara terbuka untuk kali pertama pada 1929. Sebelumnya, umat Muslim melakukan shalat hanya berada di masjid kampung. Belanda masih membatasi ruang lingkup umat Islam, apalagi jika jemaah berkumpul dalam jumlah yang sangat besar.
Pihak Kolonial takut terhadap gerakan yang bisa memobilisasi massa, karena acara di tempat terbuka rentan mengancam pemerintah saat itu. Baru setelah 1929, Pemerintah Kolonial memberikan kelonggaran kepada umat Muslim untuk melaksanakan shalat ied berjemaah. Namun, Pemerintah Hindia Belanda yang memberikan tempat pelaksanaan shalat beserta jumlah jemaah.