Bujangga Manik, Bertapa Hingga Akhir Hidupnya Sebelum Moksa di Puncak Gunung Sunda
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Meninggalkan wilayah Mataram, Bujangga Manik menyisir kawasan selatan Jawa menuju ke arah Cilacap, sebelum sampai ke Pananjung di tapal batas Jawa dengan Tatar Sunda.
Nama sungai Ci-Lohku dan Ci-Sarayu disebutnya. Ci-Lohku itu nama kuna Kali Lukulo di Kebumen. Sedangkan Ci-Sarayu namanya bertahan hingga sekarang sebagai Kali Serayu di Banyumas.
Nama lain yang disebut Karangbolong, Dipala (kini Adipala), Sawangan, dan Mandala Ayah. Ada juga nama daerah Dona Kalicung (Kali Donan di Cilacap), Segaraanak (Cilacap), Bakur di muara Ci-Tanduyan (Citanduy).
Baca artikel sebelumnya :
Diangkut ke Inggris Sejak 1627, Naskah Kuna Bujangga Manik Ditemukan 340 Tahun Kemudian
Tiba di Puncak Pakuan, Bujangga Manik Bak Pelancong Menikmati Permai Negerinya
Medang Kamulan Itu Benar-benar Pernah Ada di Sebelah Timur Purwodadi
Ketika Bujangga Manik Melintasi Lapangan Bubat di Ibukota Majapahit
Perjalanan Panjang Bujangga Manik dari Rabut Palah Hingga ke Lereng Selatan Merapi
Ia kemudian sampai di Pananjung, desa yang berdekatan dengan Pangandaran. Pananjung kini jadi cagar alam menarik dan jadi objek turisme alam terkenal di Jabar bagian selatan.
Dari Pananjung ia menyeberangi Ci-Kembulan atau Ciwulan, mendarat di Pasuketan, sebuah desa kecil di selatan Cijulang. Bujangga Manik agaknya menumpang perahu lewat laut sebelum melewati Hujung Galuh.
Hujung Galuh ini diperkirakan ibukota kerajaan Galuh, yang terletak di pesisir selatan, tak jauh dari Ci-Medang. Resi itu melanjutkan perjalanan menuju Geger Gadung, di antara sungai Ciwulan dan Cilangla.
Sekarang daerah ini dikenal sebagai Sela Gadung, masuk wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Perjalanan selanjutnya resi itu menuju Gunung Galunggung, Panggarangan, Pada Beunghar, Gunung Cikuray di selatan Garut.
Turun dari Cikuray, ia sampai ke Mandala Puntang, naik ke Gunung Papandayan, kemudian ke Gunung Se(m)bung yang dianggap hulu Citarum. Pengembaraan terus berlanjut kea rah barat melewati beberapa gunung, tempat, dan daerah.
Agaknya Bujangga Manik menyusuri rute di pegunungan Bandung selatan, hingga ia menyeberangi dua sungai, Ci-Hea dan Ci-Sokan. Keduanya ada di wilayah selatan Cianjur sekarang. Pengelanaan Bujangga Manik mendekat akhir ketika ia sampai di Eronan dan Gunung Ageung (Gunung Gede) di Pakuan.
Dari pengembaraan panjang, rute dan nama-nama geografinya, Noorduyn menyimpulkan sistem jalan antar daerah di Jawa abad 15 sudah ada dan berlanjut abad 17 hingga 19.
Meski begitu, tidak sepenuhnya Bujangga Manik menggunakan rute umum. Ia mungkin menempuh jalan-jalan baru menuju tempat-tempat keagamaan yang ditujunya.
Ini membuat data topografi dan nama daerah yang dilaluinya sulit dikenali. Bujangga Manik menurut Noorduyn seorang pertapa cendekia yang berkelan seorang diri. Ia mungkin memiliki maksud tersendiri juga atas rincian daerah yang dilaluinya.
Namun dilihat dari ketidaklengkapan penyebutan daerah atau tempat yang disebut, menunjukkan Bujangga Manik ingin mengatakan aspek utama penziarahan itu adalah rute sebagai jalan mencapai tujuan akhir.
Karya sastra keagamaan ini juga terasa kosong ketika ia berkelana seolah melintasi daerah-daerah yang tak berpenghuni. Tidak ada cerita, dialog, dan gambaran tentang masyarakat dan daerah-daerah yang dilewatinya.
Mungkin menurut Noorduyn, Bujangga Manik sengaja ingin mengasingkan diri dalam pengembaraannya. Ia berusaha meninggalkan keduniawian, untuk mencapai tingkat kehidupan spiritual setinggi mungkin.
Meski begitu, cerita bersyair Bujangga Manik ini meski bukan teks sejarah, memberikan gambaran kehidupan Jawa abad 15. Misalnya, batas wilayah Majapahit ternyata mencapai Kali Cipamali (Brebes) di tapal batas Jawa dan Sunda.
Bagian tengah Pulau Jawa, sebagaimana gambaran samar-samar dari Bujangga Manik, merupakan daerah padat penduduk. Semua daerah dari barat ke timur dan sebaliknya, bisa dijelajahi tanpa kesulitan.
Begitu pula kehidupan keagamaan berlangsung mapan. Tempat-tempat keagamaan di Jawa bagian tengah dan timur masih menjadi pusat rujukan daerah lain, termasuk dari Sunda.
Bujangga Manik juga masih menjadi saksi mata kehidupan sosial politik Kerajaan Majapahit di ibukotanya di Trowulan (Mojokerto) pada abad 15.
Atep Kurnia, peneliti literasi di Bandung menulis, sesudah pengembaraan panjangnya berakhir, Bujangga Manik memilih bertapa di sebuah gunung, hingga moksa.
Hal menarik dan memicu kontroversi adalah bagian penceritaan ketika Bujangga Manik meninggal dunia. Ceritanya deskriptif, dan menimbulkan pertanyaan, benarkah dia yang menulis syair kisah itu?
Bagaimana orang mati bisa menuliskan kematiannya? Hawe Setiawan, budayawan Sunda, membuka opsi kemungkinan seorang asketis atau pertapa bisa mencapai tahap ideal yang diinginkannya.
Ketika seseorang mampu mencapai level spiritual tertinggi lewat meditasi puncak, sukmanya mungkin bisa terbebas dari kungkungan raga.
“Di sinilah kita menemukan paradoks Bujangga Manik sebagai narator, dan Bujangga Manik sebagai protagonist,” tulis Hawe Setiawan dalam artikel “Bujangga Manik dan Studi Sunda”. (Tribunjogja.com/xna)