Jejak Pengembaraan Bujangga Manik

Bujangga Manik, Bertapa Hingga Akhir Hidupnya Sebelum Moksa di Puncak Gunung Sunda

Penulis: Setya Krisna Sumargo
Editor: Mona Kriesdinar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gunung Gede Pangrango

Karya sastra keagamaan ini juga terasa kosong ketika ia berkelana seolah melintasi daerah-daerah yang tak berpenghuni. Tidak ada cerita, dialog, dan gambaran tentang masyarakat dan daerah-daerah yang dilewatinya.

Mungkin menurut Noorduyn, Bujangga Manik sengaja ingin mengasingkan diri dalam pengembaraannya. Ia berusaha meninggalkan keduniawian, untuk mencapai tingkat kehidupan spiritual setinggi mungkin.

Meski begitu, cerita bersyair Bujangga Manik ini meski bukan teks sejarah, memberikan gambaran kehidupan Jawa abad 15. Misalnya, batas wilayah Majapahit ternyata mencapai Kali Cipamali (Brebes) di tapal batas Jawa dan Sunda.

Bagian tengah Pulau Jawa, sebagaimana gambaran samar-samar dari Bujangga Manik, merupakan daerah padat penduduk. Semua daerah dari barat ke timur dan sebaliknya, bisa dijelajahi tanpa kesulitan.

Begitu pula kehidupan keagamaan berlangsung mapan. Tempat-tempat keagamaan di Jawa bagian tengah dan timur masih menjadi pusat rujukan daerah lain, termasuk dari Sunda.

Bujangga Manik juga masih menjadi saksi mata kehidupan sosial politik Kerajaan Majapahit di ibukotanya di Trowulan (Mojokerto) pada abad 15.

Atep Kurnia, peneliti literasi di Bandung menulis, sesudah pengembaraan panjangnya berakhir, Bujangga Manik memilih bertapa di sebuah gunung, hingga moksa.

Hal menarik dan memicu kontroversi adalah bagian penceritaan ketika Bujangga Manik meninggal dunia. Ceritanya deskriptif, dan menimbulkan pertanyaan, benarkah dia yang menulis syair kisah itu?

Bagaimana orang mati bisa menuliskan kematiannya? Hawe Setiawan, budayawan Sunda, membuka opsi kemungkinan seorang asketis atau pertapa bisa mencapai tahap ideal yang diinginkannya.

Ketika seseorang mampu mencapai level spiritual tertinggi lewat meditasi puncak, sukmanya mungkin bisa terbebas dari kungkungan raga.

“Di sinilah kita menemukan paradoks Bujangga Manik sebagai narator, dan Bujangga Manik sebagai protagonist,” tulis Hawe Setiawan dalam artikel “Bujangga Manik dan Studi Sunda”. (Tribunjogja.com/xna)

Berita Terkini