TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Tak disangka, sebuah situs penting bersejarah panjang kini dalam kondisi sangat mengenaskan. Satu-satunya cungkup yang didirikan dan menaungi nisan bertudung kain mori, temboknya sudah bengkah.
Rangka kayu, usuk dan reng sudah lapuk. Gentengnya melorot dan jatuh di beberapa bagian. Semak belukar dan timbunan sampah plastik mengepung situs makam di Dusun Gandu, Desa Sendangtirto, Kecamatan Berbah, Sleman.
Baca: Roro Mendut dan Pronocitro, Kisah Cinta Bak Romeo dan Juliet dari Tanah Jawa
Dinding luar dan daun pintu cungkup dipenuhi coretan vandalis. Termasuk beberapa coretan vandalis terlihat ada di bagian dalam cungkup yang ketika disambangi Minggu (27/8/2017) masih meruapkan wangi aroma dupa dan kemenyan.
Itulah situs makam Roro Mendut dan Pronocitro, pasangan tak terpisahkan sampai akhir hayat bak kisah legendaris Romeo-Juliet.
Cerita Mendut-Pronocitro ini melegenda turun temurun karena mereka masuk di pusaran hidup seorang panglima perang era Sultan Agung.
Baca: Rara Mendut, Kisah Tragis Perempuan Sensual Nan Cantik Jelita di Era Sultan Agung
Tumenggung Wiroguno namanya. Orang berkuasa tinggi, pemimpin pasukan militer Mataram inilah yang konon menghendaki Mendut jadi selirnya. Namun perempuan dari pesisir Pati itu menolak meski dipaksa dibawa ke Kerta, ibukota Mataram kala itu.
Lokasi situs itu tepatnya di selatan SD Muhammadiyah Pajangan, Gandu, Sendangtirto. Dari Kotagede, dusun ini terletak di sebelah timur. Wilayah Balong dan Segoroyoso, yang jadi bagian tak terpisahkan kisah Mendut, ada di barat daya dan selatan dari Gandu.
Baca: Inikah Wiroguno, Sang Jenderal Besar yang Tergila-gila Roro Mendut?
Warga sekitar menyebut situs ini "bon suwung", dan memang satu-satunya bangunan di tanah kasultanan ini ya hanya cungkup makam Mendut-Pronocitro. "Makam Mbok Mendut di bon suwung, selatan SD sana," kata Pak Pujo (82), warga Prangwedanan, Banguntapan, Bantul.
Jarinya menunjuk arah utara dari tempatnya menggembala kambing, di dusun yang berlokasi sekitar 500 meter selatan Dusun Gandu. Rupanya perburuan ke situs Mendut-Pronocitro sempat nyasar sedikit sesudah belok kanan di Jalan Wonosari Km 10.
Saat ini, jalan masuk ke makam ini nyaris tak berbekas, kecuali dari arah timur bon suwung. Dari tepi jalan Dusun Gandu arah Prangwedanan, bon suwung dan situs makam ini ada di sebelah kiri. Terletak di tengah satu-satunya kebun yang dipadati aneka pepohonan tinggi.
Pak Sari Budi Mulyono (61), warga Gandu, menceritakan, kondisi situs makam dan kebun yang tak diurus itu terjadi sejak sekitar 5 tahun lalu. Sebelumnya, area di sekitar makam masih cukup bersih, dan masih ada dua pohon raksasa yang menaungi cungkup.
Meski menyurut, peziarah masih datang dan pergi di hari tertentu. Terutama Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. "Saya dulu sering ngantar pengunjung, karena saya ngojek di ujung jalan sana," kata Pak Sari menunjuk arah tepi Jalan Wonosari, atau gerbang menuju dusun itu.
Di samping dan depan cungkup kala itu masih ada teras, yang bisa menaungi pengunjung yang berziarah. "Tapi kemudian dihancurkan," kenang Pak Sari mengingat peristiwa beberapa tahun lalu.
Situs ini sesudah era reformasi, mengalami kemunduran dan juga menimbulkan kerisauan sejumlah tokoh setempat.
Dinilai jadi pusat kemusyrikan, dicurigai jadi lokasi kemaksiatan, dan tudingan-tudingan miring lain, akhirnya ada upaya sistematis untuk "memusnahkan" situs ini. Caranya, ditelantarkan dan dilarang untuk jadi tujuan ziarah massal.
Cerita Mendut-Pronocitro dan Wiroguno bagi kalangan tua di Gandu dan sekitarnya masih kuat menancap. Umumnya, kalangan tua menyebut bukan Roro Mendut tapi Mbok Mendut. Pak Muhayat (86), sesepuh Dusun Gandu, mengaku tahu cerita Mendut, tapi enggan membeber.
"Sudah banyak ditulis di buku-buku," kata Pak Muh, sapaan akrab salah seorang putra mantan juru kunci atau tetua Gandu yang dulu merawat situs ini.
Ia pun mengaku tahu dan paham praktik seks di situs Mendut, seperti yang pernah semarak di Gunung Kemukus, Sragen.
"Tapi ya tidak semuanya begitu. Orang datang, berziarah, memiliki tujuan dan cara beda-beda untuk mewujudkan harapan-harapannya. Memang, ada juga yang datang laki perempuan, bukan dengan pasangannya. Mereka suka saya nasehatin," imbuhnya.
Sesudah ayah Pak Muhayat, yaitu Imam Saberi, meninggal, perlakuan terhadap situs Mendut itu surut drastis.
"Tidak ada yang meneruskan. Apalagi tokoh mudanya menentang dilanggengkannya situs ini," kata Pak Pujo, warga Prangwedanan, Banguntapan.
Mengunjungi dan melihat dari dekat makam Roro Mendut-Pronocitro ini serasa melintasi lorong waktu, membayangkan peristiwa beratus tahun lalu, seperti yang secara cantik dideskripsikan Romo Mangun lewat novel berjudul sama, Roro Mendut.
Tidak mudah memastikan bahwa di titik itulah Mendut-Pronocitro dikubur di satu liang oleh Wiroguno. Tak ada penanda apapun di makam itu, termasuk catatan sejarah tertulisnya yang akurat tidak ada.
Kisah ini tersambung turun temurun, menyisakan drama melankolik berbumbu sensualitas. Berakhir pertumpahan darah dan matinya sang protagonis, Roro Mendut, di ujung keris Tumenggung Wiroguno.(xna)